II- Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap peninggalan Rasulullah SAW, pasca wafat beliau.
Imam al-Bukhari dalam kitab shahih beliau menuliskan satu bab khusus tentang “Tentang baju besi (untuk perang .red), tongkat, pedang, gelas dan cincin Nabi, serta apapun yang dilakukan para khalifah pasca (wafat) beliau dari barang-barang tersebut yang belum disebutkan; dari rambut, sandal dan nampan yang diambil berkahnya oleh para sahabat dan selainnya, pasca wafat beliau” (bab; Maa dzakara min Dir’un Nabi wa ‘Ashohu wa Saifihi wa Qodhihi wa Khotamihi wa Maa Ista’mala al-Khulafa’ Ba’dahu min Dzalika Mimma Lam Yudzkar Qisamatuhu, wa min Sya’rihi, wa Na’lihi wa Aaniyatihi mimma tabarraka Ashabuhu wa Ghairuhum ba’da Wafatihi). Hanya Imam Bukhari yang menyebutkan bab tersebut dalam kitab Shahih beliau, yang tidak dilakukan dalam kitab enam (Kutub as-Sittah) yang menjadi kitab standart Ahlusunah wal Jama’ah yang ada. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 46 di bab yang sama)
Adapun mengenai hadis-hadis yang membuktikan bahwa para Sahabat yang -tergolong Salaf Saleh- telah melakukan tabarruk terhadap barang-barang peningalan Rasul pasca wafat beliau, seperti:
A- Tabarruk para Sahabat dari rambut Nabi:
1- Dari Abdullah bin Muhib, beliau berkata: “Istriku menyuruhku untuk pergi ke Ummu Salamah dengan membawa gelas berisikan air –dengan pegangan tangan Israil seukuran tiga jari- dan terdapat di dalamnya sepotong rambut Nabi. Jika terdapat seseorang yang terkena mata (penyakit ‘ain .red) ataupun sesuatu (yang lain) maka akan dikirim kepadanya alat pemacar (pewarna rambut .red). Kemudian kulihat dengan berjinjit, ternyata di situ kudapati terdapat rambut merah” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 207).
2- Sewaktu Muawiyah akan mati, ia mewasiatkan agar dikuburkan dengan baju, sarung dan selendang juga sebagian rambut Nabi. (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 400, Kitab Tarikh Damsyiq jilid 59 halaman 229 dan Kitab as-Sirah al-halabiyah jilid 3 halaman 109)
3- Sewaktu Umar bin Abdul Aziz hendak meningal dunia, ia membawa rambut dan kuku Nabi seraya berkata: “Jika aku mati maka letakkan rambut dan kuku ini pada kafanku” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 5 halaman 406 tentang (tarjamah) Umar bin Abdul Aziz).
4- Baluran mayat (Hanuth) jenazah Anas bin Malik terdapat sejumput misik dan selembar rambut Rasulullah. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 7 halaman 25 tentang (tarjamah) Anas bin Malik)
5- Salah seorang putera Fadhl bin ar-Rabi’ telah memberikan tiga lembar rambut kepada Abu Abdillah (yaitu; Ahmad bin Hanbal) sewaktu beliau di penjara. Lantas beliau berkata: “Ini adalah bagian rambut Nabi”. Lantas Abu Abdillah mewasiatkan agar sewaktu beliau meninggal hendaknya masing-masing rambut tadi diletakkan pada kedua belah matanya, sedang satu sisanya diletakkan pada lidahnya. (Lihat: Kitab Shifat as-Shofwah jilid 2 halaman 357).
6- Dari Ibnu Syirin, beliau berkata: Aku berkata kepada Ubaidah: “Kami memiliki rambut Nabi. Kami mendapatkannya dari Anas ataupun dari keluarga Anas”. Lantas ia bekata: “Jika aku memiliki selembar rambut saja maka akan lebih kusukai daripada dunia beserta isinya” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 51 kitab al-Wudhu, bab al-Maa’ al-Ladzi Yughsal Sya’rul Insan).
7- Al-Waqidi menjelaskan bahwa Ummul Mukminin Aisyah telah ditanya: “Darimana engkau mendapatkan rambut itu?”. Ia berkata: “Sesungguhnya sewaktu Rasul mencukur kepala beliau di haji maka orang-orang memisahkan rambutnya. Lantas kami mendapatkannya sebagaimana orang-orang pun mendapatkannya” (Lihat: Kitab al-Maghozi jilid 3 halaman 1109).
Jika rambut Rasul seperti rambut kebanyakan orang lantas kenapa para Salaf Saleh mengharapkannya, dan bahkan menghendaki rambut itu dikubur bersamanya sewaktu meninggal dunia? Apakah itu juga tergolong perbuatan syirik? Benarkah Salaf Saleh melakukan kesyirikan? Ini yang harus dijawab oleh kaum Wahabi.
B- Tabarruk para Sahabat dari gelas Nabi:
1- Dari Sahal bin Sa’ad pada sebuah hadis, beliau berkata: “Suatu hari aku mendapati Rasul duduk-duduk dengan para sahabat beliau di Saqifah Bani Saidah, lantas beliau bersabda: “Berilah kami minum, wahai Sahal!”. Kemudian aku keluarkan gelas ini dan kuberi minum mereka dengannya”. (Lantas perawi berkata) Kemudian Sahal mengeluarkan gelas tersebut dan memberi kami minum dengan menggunakan gelas tersebut. Dia berkata: “Kemudian Umar bin Abdul Aziz memintanya, dan iapun lantas memberikannya kepadanya”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bikhari jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyrabah, Kitab Shohih al-Muslim jilid 6 halaman 103 dalam bab Ibahat an-Nabidz lam Yasytari wa lam Yashir Muskiran).
2- Dari Anas: “Sesungguhnya gelas Nabi telah pecah. Kemudian pecahan tadi diikat dengan rantai perak. Berkata ‘Ashim: Aku melihat gelas itu dan minum menggunakan gelas tersebut” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 47 dalam bab Bad’ul Khalq).
3- Abu Burdah berkata: “Abdullah bin Salam berkata kepadaku: Engkau akan kuberi minum dengan menggunakan gelas yang pernah dipakai Nabi” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyribah).
4- Dari Shofiyah binti Buhrah, beliau berkata: “Pamanku Faras telah meminta kepada Nabi sebuah piring yang pernah dilihatnya dipakai makan oleh Nabi. Lantas beliau memberikannya kepadanya”.
Dia berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan mengatakan: “Keluarkan buatku piring Rasulullah. Lantas kukeluarkan piring tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan meminum sebagian darinya, lantas selebihnya, ia percikkan ke wajahnya” (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan dengan (tarjamah) Ibnu Faras nomer ke-6971, Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 halaman 352 pada huruf Fa’, Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202, dan Kitab Kanzul Ummal jilid 14 halaman 264).
Apa beda antara gelas biasa yang tidak pernah dipakai oleh Rasul dengan gelas bekas bibir Rasul sehingga menyebabkan para sahabat mulia yang tergolong Salaf Saleh merebutkannya? Apakah perbatan ini tidak tergolong melebih-lebihkan Rasul yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam kesyirikan? Apakah kaum Wahaby berani menyatakan bahwa perbuatan tercela (versi Wahabi) itu juga diajarkan oleh para sahabat yang tergolong Salaf Saleh? Mereka harus konsisten dengan ajaran Wahabismenya dengan menyatakan bahwa perbatan itu adalah syirik, yang meniscayakan bahwa para sahabat telah mengajarkan kesyirikan kepada kita.
C- Tabarruk para Sahabat dari tempat tangan dan bibir Nabi:
1- Dalam sebuah kisah yang berkaitan dengan kedatangan Nabi ke rumah Abu Ayyub al-Anshari sewaktu beliau baru berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub berkata kepada Beliau: “Kami menyiapkan untuk beliau makan malam dan lantas mengirim (hidangan) baginya. Sehingga jika beliau mengembalikan sisa-sisa (makanan)nya maka aku dan Ummu Ayyub akan mengusap-usap bekas tangan beliau dan memakannya, untuk mengharap berkah. Hingga akhirnya suatu malam, kami mengirim buat beliau makanan yang terdapat bawang merah dan bawang putih di dalamnya. Lantas Rasul menolaknya, sehingga kami tidak mendapati bekas tangan beliau. Akhirnya kudatangi beliau dengan perasaan takut. Lantas kutanyakan: Wahai Rasulullah, demi ayahku, engkau dan ibuku, engkau telah menolak hidanganmu sehingga kami tidak mendapati bekas tanganmu? Lantas beliau menjawab: Aku mendapatkan bau pohon ini (bawang). Dikarenakan aku adalah lelaki yang selalu bermunajat (maka menjauhinya). Adapun kalian, makanlah darinya…”. (Lihat: Kitab al-Bidayah wa an-Niayah jilid 3 halaman 201, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 2 halaman 144 dan Kitab ad-Dala’il karya al-Baihaqi jilid 2 halaman 510)
2- Dari Anas: “Sewaktu Rasul memasuki rumah Ummu Sulaim, beliau mendapati di rumah tersebut terdapat Qirbah (tempat air dari kulit) yang tergantung dan di dalamnya terdapat air. Kemudian beliau mengambilnya dan meminum langsung dari bibir (Qirbah), dengan posisi berdiri. Lantas Ummu Sulaim mengambilnya dan memotong bibir Qirbah tadi yang kemudian disimpannya” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 520 hadis ke-26574 dan atau Kitab at-Thobaqaat jilid 8 halaman 213)
X 3- Dari Ummu ‘Amir –nama aslinya Fakihah atau Asma’- binti Yazid bin as-Sakan, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah melaksanakan shalat maghrib di masjid kami. Lantas aku pergi ke rumahku dan membawakan daging dan roti. Lantas kukatakan: Makanlah!? Lantas beliau bersabda kepada para sahabatnya: Silahkan makan!? Akhirnya beliau bersama para sahabat beliau yang datang makan bersama…lantas kukatakan: ??? (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 4 halaman 471 pada huruf ‘Ain di bagian pertama, berkaitan dengan (tarjamah) Ummu ‘Amir pada nomer 1374 dan atau Kitab at-Thobaqaat jilid 8 halaman 234).
4- Dari Abdurrahman bin Abi Umrah yang diriwayatkan dari neneknya, Ummu Kultsum. Beliau berkata: “Sewaktu Rasul memasuki rumahku, beliau mendapati Qirbah tergantung yang berisi air. Lantas beliau meminum darinya. Kemudian kupotong bibir Qirbah dan lantas kuangkat, mengharap berkah dari bekas bibir Rasulullah” (Lihat: Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 2 halaman 1132 dan atau Kitab Usud al-Ghabah jilid 5 halaman 539 dalam huruf Kaf mengenai (tarjamah) Kultsum pada nomer 7243).
Pertanyaan yang sama juga bisa dilontarkan dan harus dijawab oleh kaum Wahaby, bahwa apakah perbuatan semacam itu (tabarruk dari peninggalan Rasul) tergolong Syirik? Apakah hal itu meniscayakan bahwa para Sahabat yang tergolong Salaf Saleh telah mengajarkan kepada kita kesyirikan? Beranikah kaum Wahabi menvonis para sahabat di atas tadi telah melakukan kesyirikan? Mana bukti bahwa ajaran Salafy (yang pada hakekatnya Wahaby itu) hendak menumbuhkan dan menyebarkan ajaran Salaf Saleh? Salaf Saleh yang mana yang hendak mereka hidupkan ajarannya, padahal segenap Salaf Saleh membolehkan tabarruk –yang dinyatakan syirik oleh kaum Wahaby- itu?
Jika apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).
Untuk lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk dalam syariat Nabi Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian kita pada telaah hadis-hadis yang menyebutkan bahwa para Salaf Saleh telah bertabarruk kepada peninggalan Rasul, pasca wafat beliau. Dimana semua itu selama ini dianggap sebagai bentuk kesyirikan oleh kaum yang mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh. Mari kita sama-sama perhatikan secara teliti uraian hadis-hadis di bawah ini:
D- Tabarruk para Sahabat dari tongkat, baju, sandal, cincin dan mimbar Nabi:
1- Diriwayatkan dari Muhammad bin Jabir, berkata: Aku mendengar ayahku berkisah tentang kakekku, bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari Bani hanafiyah. Suatu saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata: “Duduklah wahai saudara penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!”. Lantas kusiram kepalaku dengan air bekas siraman Rasulullah…maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku potongan dari pakaianmu agar aku dapat merasakan ketentraman. Lantas beliau memberikannya kepadaku. Lantas berkata Muhammad bin Jabir: Ayahku berkata bahwa kami biasa menyiramkannya buat orang sakit untuk memohon kesembuhan”. (Lihat: Al-Ishabah 2/102 huruf Sin bagian pertama, tarjamah Sayawis Thalq al-Yamani nomer 3626)
Jika apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).
2- Diriwayatkan dari Isa bin Thahman, berkata: Anas menyuruh untuk mengeluarkan sepasang sandal yang memiliki dua tali, sedang kala itu aku berada di samping Anas. Lantas kudengar Tsabit al-Banani berkata: “Itu adalah sandal Rasul”. (Lihat: Shohih Bukhari 7/199, 4/101, al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6 dan Thabaqoot karya Ibnu Sa’ad 1/478)
Jika sandal Rasul sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, lantas buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.
3- Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah di atas mimbarku dan dia berbohong walaupun terhadap selainnya maka selayaknya ia bersiap-siap mendapat tempat di neraka” (Lihat: Musnad Ahmad bin Hambal 4/357 hadis ke-14606 dan Fathul Bari 5/210).
Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasul, menurut lisan Rasul sendiri, dan para sahabatpun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasul ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadis ke-46389). Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid lantas mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdoa” (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul). Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebutkan bahwa; beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lantas mengusapkannya ke mukanya. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Habban halaman 9). Jika kaum Wahaby (Salafy gadungan) selalu menyatakan syirik buat pengambil berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah- dari mimbar Rasul, maka apakah layak kelompok yang berpegangan teguh kepada ‘ajaran aneh sang pengkhianat’, Muhammad bin Abdul Wahhab, untuk mengaku sebagai “penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Saleh”? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai “penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh (seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Albani, Bin Baz, Utsaimin, Aali Syeikh dsb)”?
Dalam beberapa riwayat dan hadis lain disebutkan bahwa, ada beberapa hadis seperti yang membahas tentang Anas bin Malik yang dikubur dengan tongkat Rasul (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6), para sahabat mengambil berkah dari cincin Rasul dengan meniru bentuknya (Lihat: Shahih Bukhari 7/55, Shohih Muslim 3/1656, an-Nasa’i 8/196, Musnad Ahmad bin Hanbal 2/96 hadis ke-472), para sahabat yang mengambil berkah dari sarung Rasul dengan memakainya secara bergilir dan dijadikannya kafan (Lihat: Shahih Bukhari 7/189, 2/98, 3/80, 8/16, Sunan Ibnu Majah 2/1177 dan Musnad Ahmad bin Hambal 6/456 hadis ke-22318, Fathul Bari 3/144 tentang hadis 1277), Muawiyah bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli selendang Rasul untuk dibawa mati dan menjadi kafannya (Lihat: Tarikh Islam karya adz-Dzahabi 2/412, as-Sirah al-Halabiyah 3/242 dan Tarikh Khulafa’ karya as-Suyuthi hal:19), hadis Ummu Athiyah tentang kehadiran Rasul ketika anak putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya (Lihat: Shohih Bukhari 2/74 kitab Jana’iz bab pemberian Kafur, Shohih Muslim 2/647, Musnad Ahmad 7/556 hadis ke-26752, Sunan an-Nasa’i 4/31 dan as-Sunan al-Kubra 3/547 bab 34 hadis ke-6634 dan atau 4/6 bab 72 halaman 6764), dan masih banyak lagi yang akan bisa kita dapati pada edisi lengkap tulisan ini. Nantikan.
E- Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi:
1- Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah bingung memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat. Dikatakan bahwa dahulu ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia pernah melihat bahwa Rasul juga pernah melaksanakan shalat di tempat itu”. Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat di tempat-tempat itu. Lantas kutanya kepada Salim karena aku tak pernah melihat Salim kecuali dia mengikuti Nafi’ dalam (memanfaatkan) semua tempat-tempat yang ada, kecuali mereka berdua berbeda dalam pada tempat sujud (masjid) sebagaimana kemuliaan alat putar penggiling (riha’). (Lihat: Shohih Bukhari 1/130, Al-ishobah 2/349 pada huruf ‘Ain’ pada bagian pertama, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 4834, Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/149 dan Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 6/247)
Dari hadis di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar dalam mensyarahinya mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil pelajaran tentang disunahkannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi untuk bertabarruk padanya”. (Lihat: Fathul Bari 1/469, dan menurut As-Shorim: 108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; “Sunnah melakukan shalat di tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi.” Pernyataan yang sama juga dapat di kitab al-Isti’ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar).
Tetapi pada kenyataannya, kenapa para muthawwi’ (rohaniawan Wahaby) berusaha menghalang-halangi para jamaah haji yang ingin bertabarruk dan melakukan shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasul yang beliau pakai untuk beribadah, termasuk shalat di sana, dengan alasan Rasul dan Salaf Saleh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?
2- Ibnu Atsir berkata bahwa, Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya selalu mengikuti kesan dan peninggalan Rasulullah saw. Sehingga nampak beliau berdiam di tempat (Rasul pernah berdiam di situ), dan melakukan shalat di tempat yang Rasul pernah melakukan shalat di situ, dan sampai pohon yang pernah disinggahi oleh Nabi (untuk berteduh) pun disinggahinya, bahkan beliau (Ibnu Umar) selalu menyiraminya agar tidak mati kekeringan. (Lihat: Usud al-Ghabah 3/340, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 3080. Dan hal serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambal 2/269 hadis ke-5968, Shohih Bukhari 3/140, Shohih Muslim 2/1981)
Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasul? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasul? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Saleh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu?
3- Suatu saat, datang Atban bin Malik -salah seorang sahabat Rasul dari Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasul- kepada Rasul seraya berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku maka aku melakukan shalat bersama kaumku. Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang membentang antara tempatku denga tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka di masjid mereka. Wahai Rasul, aku mengharap engkau datang mengunjungiku dan melaksanakan shalat di rumahku.” Lantas Rasululah saw bersabda kepadanya: “Aku akan melaksanakannya, insya-Allah.” Atban berkata: “Keesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasul besama Abu Bakar. Kemudian Rasul meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; “Di bagian manakah engkau ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?”. Lantas aku tunjuk satu sudut yang berada di rumahku. Lantas Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kamipun turut berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca salam”. (Lihat: Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175. Shohih Muslim 1/445, 61 dan 62).
Anehnya, dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada tempat-tempat dan benda-benda yang dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani dalam kitab “at-Tabarruk al-Masyru’ hal: 68-69” berargumen dengan hadis Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas (hadis ketiga) untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat dan benda’. Dia dalam kitab itu menyatakan: “Hal itu (sebagaimana yang diceritakan dalam hadis di atas) bukan berarti menunjukkan bahwa Atban hendak bertabarruk (mencari berkah) dari tempat yang pernah dibuat shalat oleh Rasul. Akan tetapi ia hanya ingin menetapkan (iqrar) kepada Rasul untuk shalat berjamaah di rumahnya ketika dia tidak mampu untuk melakukan shalat jamaah, sewaktu terjadi genangan di lembah itu. Maka di saat itu ia hendak meresmika masjid di rumahnya dengan mengundang Rasul. Atas dasar itu akhirnya Bukhari memberikan judul dalam kumpulan hadis semacam ini dengan sebutan: “Bab Masjid-Masjid di Rumah” (Babul Masajid fil Bayt). Dan sebagaimana yang dilakukan oleh al-Barra’ bin ‘Azib yang melakukan shalat di masjid yang berada di rumahnya –ini adalah ajaran fikihnya- dimana yang dimaksudkan adalah, Rasul telah mensunahkan untuk melakukan shalat berjamaah di rumah ketika sewaktu terdapat hajat. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat lain yang bernama al-Barra’ bin ‘Azib yang melaksanakan shalat jamaah di rumahnya sedang (Rasul) tidak menkritisinya. Padahal dia hidup di zaman hidupnya Rasul (tasyri’). Boleh jadi maksud Atban tadi adalah ingin menetapkan arah kiblat yang benar, karena Rasul tidak akan menetapkan kesalahan jika ia melaksanakan shalat menghadap bukan ke arah kiblat”. Ini adalah kemungkinan interpretasi yang diberikan al-Ulyani dari hadis di atas tadi. untuk mengkritisinya maka marilah kita perhatikan poin-poin di bawah ini:
1- Tidak diragukan lagi bahwa sahabat Atban menginginkan untuk melaksankan shalat berjamaah di rumahnya. Ini adalah salah satu sebab dari kemunculan hadis tersebut. Akan tetapi bukan sebab satu-satunya, sebab keinginannya untuk bertabarruk kepada Rasulpun secara jelas nampak dalam teks hadis tersebut. Dan Nabi pun memahami apa yang diinginkan oleh Atban. Oleh karenanya beliau lantas menanyakan kepada Atban tentang tempat dalam rumahnya yang diinginkannya untuk dilakukan shalat oleh Rasul. Jika apa yang dinyatakan oleh al-Ulyani benar maka seharusnya Rasul langsung melakukan shalat di rumahnya, tanpa menanyakan dengan redaksi dan model pertanyaan semacam itu.
2- Kalaupun apa yang dinyatakan al-Ulyani benar bahwa tujuan sahabat ‘Atban tadi adalah ingin memastikan kebenaran arah kiblat karena ia tidak dapat melihat dengan baik, dengan cara mendatangkan Rasul ke rumahnya, maka hal inipun sulit diterima. Dikarenakan untuk memperoleh arah kiblat yang benar oleh ‘Atban yang penglihatannya lemah, bisa saja ia meminta tolong anggota keluarga, sanak-famili ataupun melibatkan sahabat Rasul lain untuk memberikan arahan yang sesuai arah kiblat yang benar, bukan dengan memangil Rasul, apalagi lantas dilanjutkan dengan pelaksanaan dua rakaat shalat oleh Rasul. Dan dikarenakan Rasul hanya shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagaimana teks hadis) maka ini membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasul adalah shalat sunah, bukan shalat wajib. Oleh karenanya, jika Rasul hanya berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat yang benar saja lantas buat apa beliau melakukan shalat sunah, cukup memberitahu dengan lisan dan tunjuk saja.
3- Kami tidak yakin intelektual orang seperti al-Ulyani lebih bagus dari pribadi seperti al-Allamah Ibnu Hajar al-Asqolani, termasuk dalam memahami hadis di atas tadi. dan kita tahu bahwa Ibnu Hajar menyatakan dalam syarah Shohih Bukharinya yang berjudul “Fathul Bari” dengan pernyataannya sebagai berikut:
A- “Sewaktu Nabi diundang dan diminta untuk melakukan shalat, hal itu tiada lain adalah agar pemilik rumah dapat mengambil berkah (tabarruk) dari tempat shalat tadi. Maka dari itu beliau bertanya tentang tempat yang memang dikhususkan untuk itu…”. (Lihat: Fathul Bari 1/433)
B- “Dalam hadis ‘Atban yang meminta Nabi melaksanakan shalat di rumahnya dan Nabipun memenuhi keinginan tersebut adalah bukti pembolehan (hujjah) akan tabarruk atas kesan dan peninggalan para manusia shaleh”. (Lihat: Fathul Bari 1/469)
Hadis-hadis semacam itu (Hadis ‘Atban) banyak akan kita dapati dalam kitab-kitab terkemuka lain. Untuk mempersingkat, kita akan sebutkan kitab, jilid dan halaman saja untuk dirujuk oleh para pembaca yang budiman.
Jika kita memberi sedikit toleransi terhadap pernyataan al-Ulyani berkaitan dengan hadis ‘Atban, dan memberi secuil kemungkinan kebenaran pada perkiraannya karena belas kasihan kita, maka bagaimana pendapat al-Ulyani dengan hadis-hadis lain yang secara jelas menyatakan keinginan para sahabat untuk bertabarruk kepada Rasul? Sebagai contoh, seperti hadis Ummu Sulaim dan beberapa sahabat lain yang dapat kita temui hadis tersebut dalam kitab; Sunan an-Nasa’i 1/268, kitab al-Masajid, bab 43 shalat ‘alal hashir hadis ke-816, atau dalam kitab Sunan Ibnu Majah 1/249 kitab al-Masajid, bab alMasajid fid Daur hadis ke-756, atau kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 3/586 hadis ke 11920 cetakan Muassasah at-Tarikh al-Arabi dan dalam Musnad Imam Ahmad 3/130 terdapat dua sanad yang berbeda, atau lihat kitab Musnad Anas bin Malik hadis ke-11920. dengan jelas hadis Ummu Sulaim tadi menyatakan bahwa ia ingin bertabarruk dari Rasulullah saw, tidak seperti hadis ‘Atban yang masih mungkin disalahpahami oleh al-‘Ulyani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar