Selasa, Januari 13, 2009

Ceramah Haji

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

‘IBADAH HAJI DAN ‘UMRAH

Berfirman Allâh SWT :

فِيهِ ءَايَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ ءَامِنًا وَ ِللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya :

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullâh itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allâh, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullâh ; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

(Surat Ali ‘Imran (3) : 97)

Dan dalam ayat yang lain Allâh berfirman :

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ِللهِ

Artinya :

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah..”

(Surat Al-Baqarah (2) : 196)

Ta’rif Al-Hajji (الْحَجِّ) dari segi bahasa (lughah) ialah :

الْقَصْدُ إِلَى مَنْ تُعَظِمُهُ

Artinya :

“Menuju (berkunjung) kepada orang yang engkau muliakan”

Sedangkan ta’rifnya dari segi syara’ ialah :

قَصْدُ مَكَّةَ لِعَمَلِ مَخْصُوْصٍ فِي زَمَنِ مَخْصُوْصٍ

Artinya :

“Menuju ke Makkah untuk melakukan ‘amal yang khusus, pada waktu yang khusus”

Sedangkan Al-‘Umrah (الْعُمْرَةُ), pengertiannya dari segi bahasa ialah :

قَصْدُ الْمَكَانَ الْعَامِرِ

Artinya :

“Datang / berkunjung ke tempat yang ramai”

Sebagian orang ada yang mengartikan Al-‘Umrah (الْعُمْرَةُ) adalah Az-Ziyarah (الزِّيَارَةُ) yaitu : “Berziarah” atau “Berkunjung” ke suatu tempat.

Sedangkan ta’rifnya menurut syara’ ialah :

هِيَ إِفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ تُسَمَّى بِالْحَجِّ اْلأَصْغَارِ وَ إِفْعَالُهَا أَرْبَعَةٌ : اْلإِحْرَامُ وَ الطَّوَافُ وَ السَّعْيُ بَيْنَ الصَّفَا وَ الْمَرْوَةَ وَ الْحَلَقُ

Artinya :

“Ia (Al-‘Umrah) adalah beberapa perbuatan yang bersifat khusus, yang disebut Haji Kecil, perbuatan itu ada 4 (empat) : Ihrâm (dari mîqât), Thawâf, Sa’î di antara Shafâ dan Marwah dan mencukur rambut”

Haji merupakan rukun Islam yang ke-5, yang pelaksanaannya terikat pada waktu dan tempat.

Lain halnya dengan ‘ibadah-‘ibadah yang lain, seperti shalât misalnya, yang waktunya ditetapkan oleh Allâh namun tempatnya tidak. Shalât bisa dilakukan dimana saja, di masjid, di rumah, di kantor dsb. Artinya, setiap muslim bebas memilih tempat untuk melaksanakan kewajiban shalât lima waktu, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan Allâh.

Begitu pula dengan puasa Ramadhân, yang wajib dilakukan pada bulan Ramadhân setiap tahun. Namun Allâh SWT membebaskan setiap muslim untuk melakukannya dimanapun ia berada. Ia boleh menunaikannya di negeri manapun.

Demikian pula halnya dengan zakat, baik zakat fithrah maupun zakat mâl, meskipun terikat waktu pelaksanaannya, tapi tidak terikat tempatnya. Dimanapun seorang muslim berada, ia wajib mengeluarkan zakat apabila telah sampai batas waktu dan nisabnya.

Adapun kewajiban haji, berbeda dengan kewajiban ‘ibadah lain karena ‘ibadah haji terikat pada waktu dan tempat. Jadi, ‘ibadah haji tidak shah bila dilakukan di tempat selain Baitullâh Al-Harâm di Makkah.

Begitu pula dengan wuquf di hari ‘Arafah, hanya shah bila dilakukan pada tanggal 9 Dzul-Hijjah di tempat yang telah ditetapkan, yaitu di seluruh kawasan padang ‘Arafah. Tidak dibenarkan melaksanakan wuquf di luar daerah tersebut. Di samping itu, tidak dibenarkan menunaikan manasik haji di sembarang bulan, selain di bulan Dzul-Hijjah.

Dengan demikian dapatlah diketahui, bahwa pekerjaan haji merupakan kewajiban satu-satunya yang terikat oleh waktu dan tempat.

Di samping itu, masih ada satu hal yang lain, Allâh menghendaki setiap hamba-Nya – yang melakukan ‘ibadah haji – memakai seragam yang sama, menanggalkan semua simbol status sosial dan lambang perbedaan yang ada. Tidak perduli apakah ia seorang raja atau kepala negara, atau ia seorang budak atau pekerja rendahan. Dalam ‘ibadah haji pakaian mereka sama, tidak ada perbedaan di antara mereka, yaitu pakaian ihrâm yang tidak berjahit.

Maka pada saat itu, hilanglah semua sikap membedakan diri dan mengistimewakan pribadi dengan pakaian dan kedudukan. Inilah puncak dari simbol persamaan dan persaudaraan seluruh ras manusia dalam Islâm, yang datang dari seluruh pelosok bumi, dengan satu tujuan, yaitu : Haji ke Baitullâh.

Undangan universal ini telah dikumandangkan sejak masa Khalîlullâh Ibrâhîm a.s. oleh Beliau atas perintah Allâh SWT :

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Artinya :

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,”

(Surat Al-Hajj (22) : 27)

Al-Imâm Ibnu Katsîr meriwayatkan dalam Tafsîrnya, ketika Ibrâhîm diperintah menyeru manusia untuk melaksanakan haji, Beliau pun berkata kepada Allâh :

يّا رَبِّ كَيْفَ أُبَلِّغُ النَّـاسَ وَ صَوْتِي لاَ يَنْفُذُهُمْ

Artinya :

“Yâ Rabb-ku, bagaimanakah caranya aku menyampaikan – seruan itu – kepada semua manusia ? Sedangkan suaraku tidak bisa sampai kepada mereka semua”

Maka Allâh pun berfirman kepadanya :

نَادَ وَ عَلَيْنَا الْبَلاَغُ

Artinya :

“Serulah dan Kami yang akan menyampaikan – seruan itu --”

Maka Ibrâhîm a.s. pun berdiri di tempatnya atau di atas Hajar Aswad atau di bukit Shafâ atau di atas Abîl Qubais, lalu Beliau pun berseru :

يَأَيُّهَا النَّـاسُ إِنَّ رَبَّكُمْ قَدِ اتَّخَذَ بّيْتًا فَحَجُّوْهُ

Artinya :

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb kalian telah membuat sebuah rumah, maka berhajilah kalian padanya”

Disebutkan bahwa saat itu gunung-gunung pun menunduk sehingga suara itu sampai ke seluruh pelosok bumi dan terdengar oleh bayi-bayi yang masih dalam kandungan dan yang masih berada dalam tulang shulbi. Maka segala sesuatu yang mendengar seruan itu, daripada batu-batuan, tanah dan pohon-pohonan serta siapa-siapa saja yang Allâh taqdirkan akan berhaji sampai hari qiyamat, menjawab seruan itu :

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ

Artinya :

“Kami penuhi yâ Allâh, kami penuhi panggilan-Mu”

(Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr)

Ayat ini dengan tegas mengatakan, bahwa sejak masa Ibrâhîm a.s. manusia telah datang berbondong-bondong dari segenap penjuru dunia, dengan menempuh perjalanan yang jauh, sukar dan melelahkan, semata-mata memenuhi undangan atau panggilan berhaji ke Baitullâh yang mulia.

Namun, 500 tahun sebelum diutusnya Rasûlullâh saw terjadi penyimpangan luar-biasa yang dimulai oleh ‘Amer bin Lahyin yang pada waktu itu bertindak sebagai penjaga Baitullâh. Suatu ketika ‘Amer jatuh sakit dan kepadanya disarankan agar datang ke sebuah mata-air hangat yang ada di Balqâ negeri Syâm, untuk berobat. Segeralah ia pergi ke sana dan mandi di tempat itu sehingga sembuh. Di Balqâ ini ia melihat orang-orang menyembah berhala. Mereka menerangkan kepada ‘Amer, bahwa kepada berhala itulah mereka minta hujan dan minta menang perang. Maka ‘Amer pun meminta sebuah berhala yang dibawanya ke Makkah dan diletakkan di Ka’bah. Sejak itulah penyembahan berhala berkembang di kalangan masyarakat Makkah dan hampir di setiap rumah penduduk terdapat sebuah berhala. Bahkan mereka membangun 360 buah berhala di sekeliling Rumah Suci itu.

Lalu Allâh SWT pun mengutus Nabi-Nya yang terakhir, Muhammad saw yang menghancurkan seluruh patung dan berhala yang ada di sekitar Bait-Nya. Maka setelah mengalami distorsi yang cukup lama, ‘ibadah mulia ini pun dilanjutkan kembali seperti semula oleh Nabi terakhir, Muhammad saw dan para pengikutnya sampai hari qiyamat. Dan memang, Allâh telah menyatakan dalam Kitab-Nya, bahwa mereka – yaitu Muhammad saw dan para pengikutnya – adalah pewaris dan penerus agama Ibrâhîm as :

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَ اللهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya :

“Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allâh adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.”

(Surat Ali ‘Imran (3) : 68)

Al-Imâm Ibnu Katsîr telah memberikan komentar yang menarik dalam masalah ini, beliau berkata :

فَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ اْلإِسْلاَمِ إِلاَّ وَ هُوَ يَحِنُّ إِلَى رُؤْيَةِ الْكَعْبَةَ وَ الطَّوَافِ وَ النَّـاسُ يَقْصُدُوْنَهَا مِنْ سَائِرِ الْجِهَـاتِ وَ اْلاَقْطَارِ

Artinya :

“Maka tidak ada seorang muslim pun yang tidak merasa rindu untuk melihat Ka’bah serta melakukan thawâf. Dan manusia pun terus berdatangan mengunjunginya dari segala penjuru dan pelosok bumi”

(Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr)

Ini adalah sebuah kenyataan yang bisa disaksikan dan dirasakan oleh setiap muslim, setiap menjelang musim haji tiba, qalbu mereka semua pun tergugah ingin segera pergi haji ke Baitullâh Al-Harâm, karena perjalanan menunaikan ‘ibadah haji merupakan kenikmatan dan kebahagiaan rohaniah yang tiada tara indahnya.


Haji Mabrûr dan ‘Umrah

Al-Mabrûr (الْمَبْرُوْرُ) artinya ialah :

الَّذِيْ لاَ يُخَالِطُهُ إِثْمٌ ، وَ لاَ رِيَاءً فِيْهِ وَ لاَ سُمْعَةً وَ لاَ رَفَثَ وَ لاَ فُسُوْقَ

Artinya :

“Tidak dikotori oleh dosa, tidak disertai riya (pamer) di dalam pelaksanaannya, dan tidak mencari ketenaran, tidak bersenggama dan mengeluarkan kata-kata cabul, dan tidak melakukan perbuatan fasiq”

Yang dimaksud “perbuatan fasiq” di sini menurut Ibnu Jubair ialah “caci maki”. Sedangkan menurut Al-Imâm Al-Qurthubî ialah “semua perbuatan maksiat”.

Rasûlullâh saw pun telah bersabda mengenai soal ini :

مَنْ حَجَّ ِللهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَ لَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Artinya :

“Siapa saja yang haji, dengan tidak bersenggama dan mengucapkan kata-kata cabul dan tidak berbuat fasiq, maka ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya”

Dalam hadits yang lain, sabda Beliau saw :

بِرُّ الْحَجِ إِطْعَامُ الطَّعَامِ ، وَ طِيْبُ الْكَلاَمِ

Artinya :

“Mabrûrnya haji ialah, memberikan makanan dan memperbaiki ucapan”

(H.R. Ibnu ‘Adî (2/20) dan Abûl ‘Abbâs Al-Asham dalam “Fawâ-id Al-Muntâqah (1/3)” dan juga Al-Hâkim meriwayatkan darinya (1/483). Lihat Al-Ahâditsush-Shahîhah julid III hal. 262 no. : 1264)

Satu pendapat yang lain mengatakan, bahwa Al-Mabrûr (الْمَبْرُوْرُ) artinya Al-Maqbûl (الْمَقْبُوْلُ) yaitu : “yang diterima”. Jadi Haji Mabrûr artinya : “Haji yang diterima oleh Allâh”

Ini artinya, kunjungan orang itu sebagai tamu diterima oleh Allâh SWT, karena orang yang melakukan haji dan ‘umrah pada kahikatnya bertamu dan menjadi tamu Allâh, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw :

وَفْدُ للهِ ثَلاَثَةٌ : الْغَـازِي ، وَ الْحَجِّ ، وَ الْمُعْتَمِرُ

Artinya :

Tamu Allâh itu ada 3 (tiga) : “ Orang yang berperang – di jalan Allâh --, orang yang berhaji dan orang yang ‘umrah”

(H.R. An-Nasa-î)

Jadi, sudah selayaknya sebagai tamu – apalagi tamu Allâh – ia bersikap sopan, yaitu menjaga ucapan dan perbuatan. Dan Allâh SWT pun telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya :

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَ لاَ فُسُوقَ وَ لاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ . . . . .

Artinya :

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji………...”

(Surat Al-Baqarah (2) : 197)

Ini merupakan petunjuk dasar yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang akan melakukan ‘ibadah haji, mengunjungi Baitullâh yang berarti akan menjadi tamu-tamu Allâh. Agar kunjungannya diterima dengan baik oleh Allâh dan hajinya pun menjadi Haji Mabrûr.

Fadhilah (Keutamaan) Haji Mabrûr

Fadhilah atau Keutamaan Haji Mabrûr mencakup 2 (dua) Aspek Duniawi dan Aspek Akhirat, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw :

تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَ الْعُمرَةِ ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَ الذُّنُوْبَ ، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَ الذَّهَبَ وَ الْفِضَّةَ. وَ لَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابُ دُوْنَ الْجَنَّةِ

Artinya :

“Hendaklah kalian iringi pelaksanaan haji dengan ‘umrah, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa, sebagaimana penghembus api melenyapkan kotoran pada besi, emas dan perak. Dan Haji Mabrûr, tiada ganjaran selain surga”

(H.R. Ahmad, Abû Dâwûd dan At-Tirmidzi)

Dalam hadits lain dari Jâbir bin ‘Abdillâh r.a., Rasûlullâh saw bersabda :

مَا أَمْعَرَ حَجٌّ قَطُّ . قِيْلَ لِجَابِرِ : مَا اْلإِمْعَارُ ؟ قَالَ : إِفْتَقَرَ

Artinya :

“Orang yang melaksanakan haji tidak akan mengalami Am’ar”. Lalu ditanyakan kepada Jâbir : “ Apakah Am’ar itu ?”. Jawab Jâbir : “Tidak akan mengalami kemiskinan”

(Dikeluarkan dalam Majma’uz-Zawâ-id dengan keterangan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrâni dalam Al-Ausath dan juga oleh Al-Bazzâr, sedang para perawinya adalah perawi yang shahîh)

Dalam hadits yang lain, dari Abû Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasûlullâh saw pernah ditanya :

أَيُّ اْلأَعْمَالِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : (إِيْمَانُ بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ) . قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : (جِهَادٌ فِي سَبِيْلِ اللهِ) . قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : (حَجٌّ مَبرُوْرٌ)

Artinya :

“’Amal apakah yang paling utama ?”. Beliau menjawab : “Beriman kepada Allâh dan Rasûl-Nya”. Ditanyakan lagi : “Kemudian apa ?”. Beliau menjawab : “Berjihad di jalan Allâh”. Lalu ditanyakan lagi : “Kemudian apa ?”. Beliau pun menjawab : “Haji Mabrûr”

(H.R. Al-Bukhârî dan Muslim, dan lafadznya dari Al-Bukhârî)

Dan dari ‘Âisyah r.a., ia berkata :

يَا رَسُوْلُ اللهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَنُجَاهِدُ ؟ قَالَ : لاَ لَكِنَّ الْجِهَادَ حَجٌّ مَبْرُوْرٌ

Artinya :

“Yâ Rasûlullâh, kami berpendapat bahwa jihad itu merupakan ‘amal yang paling utama, maka tidakkah sebaiknya kani berjihad saja ?”. Jawab Beliau saw : “Tidak, tetapi jihad yang paling utama – buat kalian kaum wanita – ialah Haji Mabrûr”

(H.R. Al-Bukhârî)

Al-Hasan Al-Bishrî pernah ditanya : “Apakah Haji Mabrûr itu ?”. Ia pun menjawab :

أَنْ يَعُوْدُ زَاهِدًا فِي الدُّنْيَا رَاغِبًا فِي اْلأَخِرَةَ

Artinya :

“Jika ia kembali menjadi orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat”

Jawaban Al-Hasan ini menunjukkan betapa besar dampak psikologis yang dihasilkan oleh Haji Mabrûr, yaitu sikap zuhud terhadap dunia dan cinta terhadap akhirat, yang merupakan penjelmaan dari puncak keimanan seorang muslim sehingga membuat Allâh cinta kepadanya. Rasûlullâh saw telah bersabda mengenai hal ini :

إِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ

Artinya :

“Zuhudlah terhadap dunia, maka Allâh akan mencintai-mu”

Hadits ini menunjukkan betapa mulia dan utamanya sikap zuhud, karena hal itu merupakan faktor utama yang membuat Allâh mencintai seseorang. Dan dengan sikap zuhud ia berarti telah menempatkan kemanusiaannya di atas semua yang bersifat materi atau kebendaan. Dan ini, merupakan puncak keberhasilannya dalam perjuangan hidup dan inilah sebenarnya tujuan tertinggi dari pelaksanaan ‘ibadah haji. Semoga Allâh memberikan Haji Mabrûr kepada kita semua.

(Wallâhy A’lam)


Syarat-syarat memperoleh Haji Mabrûr

Para ‘ulamâ’ mengatakan, bahwa untuk memperoleh atau mendapatkan Haji Mabrûr harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu :

1. Niat yang ikhlash.

2. Ilmu yang lengkap tentang Manasik Haji.

3. Biaya yang halal.

4. Minta maaf dari orang-orang yang dizhalimi.

1. Niat yang ikhlash

Niat yang ikhlash ialah melaksanakan ‘ibadah haji dan ‘umrah dengan niat dan tujuan semata-mata karena Allâh atau karena mengharapkan balasan dari Allâh SWT, sebagaimana firman-Nya :

وَ أَتِمُّوْا الْحَجَّ وَ الْعُمْرَةَ ِللهِ

Artinya :

“Dan sempurnakanlah haji dan ‘umrah karena Allâh”

(Surat Al-Baqarah (2) : 196)

Dalam ayat yang lain, firman-Nya :

.... وَ ِللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً ......

Artinya :

“….mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…”

(Surat Ali ‘Imran (3) : 97

Al-Imâm Al-Qurthubî mengatakan bahwa huruf “Lâm” (ل) pada kata “Lillâh” (لِلَّهِ) adalah Al-Îjâb (اْلإِيْجَابُ) dan Al-Ilzâm (اْلإِلْزَامُ), artinya “mewajibkan dan memastikan”. Jadi, arti ayat itu ialah : “Merupakan kewajiban yang pasti bagi manusia untuk berhaji ke Baitullâh – semata-mata – karena Allâh, bagi siapa-saja yang mampu mengunjunginya”

Padahal, pada masa-masa sekarang ini banyak sekali orang yang melaksanakan haji dengan niat dan tujuan yang menyimpang, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw :

يَأْتِي عَلَى النَّـاسِ زَمَانٌ يَحُجُّ أَغْنِيَآءُ أُمَّتِي لِلذُّزْهَةِ ، وَ أَوْسَطُهُمْ لِلتِّجَارَةِ ، وَ قُرَّآؤُهُمْ لِلرِّيَاءِ وَ السُّمْعَةِ ، وَ فُقَرَآؤُهُمْ لِلْمَسْأَلَةِ

Artinya :

“Akan datang suatu masa pada manusia, -- dimana – orang-orang kaya dari umatku melaksanakan haji untuk piknik, dan kelas mengengah dari mereka untuk berdagang, sedangkan pada qari (ahli baca Al-Qur-ân) dari mereka berhaji untuk pamer dan mencari ketenaran, dan orang-orang miskin dari mereka berhaji untuk menjadi pengemis (minta-minta)”

(H.R. Abûl-Faraj dari Anas bin Mâlik)

Maka, hendaklah orang yang akan menunaikan ‘ibadah haji berupaya dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan niat dan tujuannya dari hal-hal semacam itu.

2. Ilmu yang lengkap tentang manasik haji

Yang dimaksud Ilmu Manasik di sini ialah tata-cara pelaksanaan manasik haji yang sesuai dengan tuntunan atau sunnah Rasûlullâh saw dari awal sampai akhir, yaitu dari mulai ihram sampai dengan thawâf wada’. Dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mencontoh Rasûlullâh saw agar ‘ibadah haji mereka tidak keliru dan berakibat fatal bagi mereka. Rasûlullâh saw telah bersabda mengenai hal itu :

لِتَأْخُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

Artinya :

“Hendaklah kalian mengambil manasik haji kalian dari aku”

(H.R. Muslim)

Haji adalah ‘ibadah mahdhah, maka pedomannya adalah perintah Allâh dan Rasûl-Nya. Sedangkan pelaksanaannya harus mengikuti sunnah Rasûlullâh saw. Oleh karena itu, sangat dianjurkan bagi setiap muslim yang akan berangkat haji untuk mempelajari dengan sebaik-baiknya manasik Rasûlullâh saw dengan tepat dan benar. Karena manasik yang tepat dan benar itu pun menentukan mabrûr tidaknya haji itu. Bisa dibayangkan betapa ruginya bila biaya yang begitu besar yang telah dikeluarkan untuk ‘ibadah itu, namum ternyata hajinya tidak mabrûr.

(Wallâhu A’lam)

3. Biaya yang halal

Biaya atau ongkos yang digunakan untuk menunaikan ‘ibadah haji hendaklah uang yang bersumber dari yang halal, karena uang yang haram membuat ‘ibadah haji itu ditolak oleh Allâh, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw :

إِذَ حَجَّ الرَّجُلُ بِمَالِ مِنْ غَيْرِ حِلِّهِ , فَقَالَ : لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ , قَالَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ : لاَ لَبَّيْكَ وَ لاَ سَعْدَيْكَ , هَذَا مَرْدُوْدٌ عَلَيْكَ

Artinya :

Ketika seseorang berangkat menunaikan ‘ibadah haji dengan harta yang tidak halal, maka ia berkata : “Labbaik Allâhumma Labbaik”. Maka Allâh Yang Maha Mulia dan Maha Agung pun berkata : “Tidak diterima kunjunganmu dan tidak ada kebahagiaan bagimu, ini – haji – ditolak darimu”

(H.R. Al-Hâfidz Abûl-Faraj dari ‘Umar)

Inilah yang disebut Haji Mardûd yang merupakan kebalikan dari Haji Mabrûr. Sebagian ‘ulamâ’ menyatakan, bahwa orang yang menunaikan haji dengan uang haram seperti ini, hajinya tetap shah. Namun Al-Imâm Ahmad bin Hanbâl menolak pendapat ini, dan dengan tegas menyatakan hajinya tidak shah, sesuai dengan makna hadits tersebut.

Begitu-pula sebaliknya, apabila biaya atau ongkos yang digunakan berasal dari uang yang halal, maka ‘ibadahnya akan diterima, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw :

إِذَا خَرَجَ الْحّجُّ حَاجًا بِنَفَقَةٍ طَيِّبَةٍ وَ وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ فِنَادَى : لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ , نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَآءِ : لَبَّيْكَ وَ سَعْدَيْكَ , زَادُكَ حَلاَلٌ , وَ رَحِلَتُكَ حَلاَلٌ وَ حَجُّكَ مَبْرُوْرٌ غَيْرُ مَأْزُوْرٍ

Artinya :

Jika seseorang pergi menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal, dan kakinya telah diletakkan pada sanggurdi, kemudian ia mengucapkan : “Labbaik Allâhumma Labbaik (Yâ Allâh, inilah aku datang memenuhi panggilan-Mu)”, maka berserulah seorang penyeru dari langit : “Allâh menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga engkau berbahagia. Perbekalanmu halal, kendaraanmu juga halal, maka hajimu mabrûr, tidak dicampuri dosa”

(H.R. Ath-Thabrâni)

Dan seluruh biaya – yang halal – yang dikeluarkan untuk melaksanakan ‘ibadah haji akan diganti oleh Allâh, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw :

الْحُجَّاجُ وَ الْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ , إِنْ سَأَلُوْا أُعْطُوْا , وَ إِنْ دَعَوْا أُجِيْبُوْا , وَ إِنْ أَنْفَقُوْا أُخْلِفَ عَلَيْهِمْ

Artinya :

“Orang-orang yang melaksanakan haji dan ‘umrah adalah tamu-tamu Allâh, jika mereka meminta akan diberi, jika mereka berdo’a akan dikabulkan dan nafqah (biaya) yang mereka keluarkan akan diganti”

(H.R. Tamâm Ar-Râzî dan Ibnul-Jauzi)

4. Minta maaf dari orang-orang yang dizhalimi

Ini sangat dianjurkan bagi orang yang akan berangkat menunaikan ‘ibadah haji, yaitu minta maaf kepada siapa-saja yang pernah dizhalimi atau dianiaya olehnya.

Adapun yang dimaksud berbuat zhalim terhadap orang lain, ialah :

إِنْتِقَاصُ الْحَقِّ

Artinya :

“Mengurangi hak (orang lain)”

Sebagaimana pesan Rasûlullâh saw kepada Mu’âdz bin Jabbal r.a – salah seorang sahabat – ketika Beliau mengutusnya ke Yaman untuk mengambil zakat harta :

فَإِنْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَإِيَّكَ وَ كَرَائِمَ أَمْوَالَهُمْ

Artinya :

“Maka jika mereka taat kepadamu untuk – menuuaikan zakat – itu, maka hati-hatilah engkau terhadap harta kekayaan mereka”

Maksudnya, jangan sampai Mu’âdz berlaku zhalim terhadap mereka, yaitu dengan mengambil harta mereka lebih dari yang seharusnya, yang berarti mengurangi atau menganiaya hak mereka.

Lalu Rasûlullâh saw memberi peringatan lagi kepada Mu’âdz :

وَ تَّقِ دَعْوَةِ الْمَظْلُوْمِ . فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

Artinya :

“Takutlah engkau terhadap do’anya orang yang dizhalimi (dianiaya), karena sesungguhnya tidak ada penghalang di antara dia dengan Allâh”

(H.R. Al-Bukhârî dan Muslim. Lihat Fathul-Majîd hal. 90)

Dalam hadits yang lain Rasûlullâh saw bersabda :

إتَّقُوْا الظُّلْمَ , فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya :

“Takutlah akan perbuatan zhalim, karena perbuatan zhalim menyebabkan kegelapan pada hari qiyamat”

(H.R. Ahmad, Ath-Thabrânî dan Al-Baihaqî. Lihat Fathul-Kabîr juz I hal. 87 no. : 100)

Itulah sebabnya Rasûlullâh saw memerintahkan kepada setiap muslim yang masih memiliki dosa perbuatan zhalim terhadap saudaranya, untuk meminta maaf kepadanya. Beliau saw bersabda :

مَنْ كَنَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ ِلأَخِيْهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَ لاَ دِرْهَامٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ ِلأَخِيْهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيْهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ

Artinya :

“Siapa-saja yang masih mempunyai kezhaliman terhadap saudaranya, maka hendaklah ia minta dihalalkan (dimaafkan) pada saudaranya. Karena di – akhirat – sana, tidak berlaku Dînâr dan juga Diarhâm, sebelum diambil – pahala – kebaikannya untuk diberikan pada saudaranya. Maka jika ia tidak memiliki – pahala – kebaikan, akan diambillah keburukan saudaranya, lalu dilemparkan – keburukan itu -- kepadanya”

(H.R. Al-Bukhârî juz VII hal. 197)

Oleh karena itu, penting sekali bagi setiap muslim yang akan menunaikan ‘ibadah haji dan akan menjadi tamu Allâh, untuk membersihkan dirinya dari segala perbuatan zhalim yang pernah diperbuatnya terhadap orang lain dengan cara meminta maaf kepada mereka. Dengan begitu, ia pun aman dari ancaman do’a mereka dan ancaman atau ‘adzab Allâh terhadap dirinya yang semua itu dapat merusak ‘ibadah hajinya.

(Wallâhu A’lam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar