BERMAKRIFAT MELALUI AKAL
Oleh : H. Marhadi Muhayar, Lc., M.A.
إِنَّ الْحَمْدَ
لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ
بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ
اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ
بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ
الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ
وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ تَعَالَى أَيْضًا: يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ
الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً
سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ
يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّا بَعْدُ؛
Jamaah
shalat Jumat rahimakumullah…
Sebagai seorang muslim, kita selalu diarahkan oleh
al-Qur’an dan al-Sunnah agar senantiasa meningkatkan makrifat atau pengenalan
diri kita kepada Dzat Pemelihara alam semesta, Allah swt. Bermakrifat kepada
Allah merupakan salah satu bagian dari ibadah /yang paling mulia dan luhur bagi setiap muslim. Mengenal
Allah dengan makrifat yang sempurna merupakan pondasi yang teramat kokoh bagi
seluruh keyakinan dan kehidupan rohani seseorang.
Bermakrifat kepada Allah merupakan sumber dari
kepercayaan dan keimanan yang diajarkan Islam, seperti kepercayaan kepada
malaikat, para nabi dan rasul, kitab-kitab suci, hari akhirat dan kepercayaan
lain yang harus diyakini oleh setiap pribadi mukmin. Mengenal Allah swt bisa dilaksanakan
dengan dua cara, yaitu dengan cara memahami asma (nama-nama) Allah yang mulia
dan agung, yang biasa dikenal dengan sebutan al-asma al-husna, atau
bermakrifat dengan menggunakan akal fikiran.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibekali
akal dan fikiran oleh Allah swt diarahkan agar selalu menggunakan karunia yang
agung ini sesuai dengan fungsinya yang sangat dominan. Seluruh anggota tubuh
manusia mempunyai tugas masing-masing yang berbeda (job description). Tugas
tersebut harus terus dipikul oleh setiap insan dan tidak pernah berhenti selama
hayat masih dikandung badan.
Tugas akal fikiran adalah memikirkan, menganalisa,
memeriksa, mengamati, dan meneliti hal-hal yang perlu diperhatikan. Apabila
akal dan fikiran yang kita miliki dan amat berharga itu tidak digunakan dengan
semestinya, maka akan sia-sialah karunia yang mulia itu, sehingga akan
menyebabkan kebekuan dan kejumudan dalam menjalani rona-rona kehidupan.
Ajaran Islam menghendaki agar akal yang dimiliki setiap
insan itu digunakan sebaik-baiknya, segera bekerja melepaskan belenggu yang
mengekangnya, cepat bangkit dari tidur nyenyaknya, kemudian mulai memikirkan,
menganalisis, memperhatikan, dan meneliti setiap hal yang ada di sekitarnya.
Kegiatan seperti ini termasuk dalam inti peribadatan yang bermutu terhadap
Allah swt, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Katakanlah,
perhatikanlah olehmu segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi...” (QS.
Yunus, 10:101).
Seorang mukmin dibimbing oleh al-Qur’an agar selalu
mengadakan pemikiran terhadap segala sesuatu yang dijumpainya, kemudian dari
pemikiran itu akan diperoleh pelajaran-pelajaran yang berharga bagi dirinya dan
bagi masyarakatnya. Di samping mengadakan penyelidikan dan penelitian dalam
segala bidang kehidupan, seorang mukmin juga diharapkan agar menyertakan niat
yang tulus dan ikhlas untuk beribadah kepada Allah selama dalam proses
penelitian tersebut. Dengan demikian, seorang mukmin yang diridhai oleh Allah
adalah orang yang senantiasa menjaga keseimbangan (balance) antara
beribadah dan berfikir. Setiap orang yang senantiasa menjaga keseimbangan
antara berfikir, beribadah (mahdhah), dan beraktifitas, ia akan
menjumpai bahwa kegiatan-kegiatan yang rutin dilakukannya itu ada yang bersifat
ta’abbudi (ritual) dan ta’aqquli (rasional). Allah swt
berfirman, “Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan
kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas)
berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad)
tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah
pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (QS.
Saba, 34:46)
Orang-orang yang mengingkari karunia akal dan fikiran
yang agung itu dengan tidak menggunakannya sebaik mungkin, maka mereka akan
tercampakkan dalam lembah kehinaan dan kenistaan. Kerendahan dan kehancuran
akan menimpa mereka dalam kehidupan di dunia sekarang ini, lebih-lebih di
akhirat nanti. Manusia yang berkarakter seperti di atas sungguh sangat dicela
oleh al-Qur’an yang mengemban nilai-nilai kebenaran. Di samping itu mereka pun
akan dicemooh dan disingkirkan oleh orang-orang cerdik-cendekia karena sudah
tidak sejalan dengan nilai-nilai peradaban yang semakin berkembang. Dalam hal
ini, Allah berfirman, “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di
langit dan di bumi yang mereka lewati, tetapi mereka tidak memperhatikannya.”
(QS. Yusuf, 12:105)
Dalam realita yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
sekarang ini, banyak dijumpai orang-orang yang berpaling dari tanda-tanda
kekuasaan dan kebesaran Allah, padahal
tanda-tanda tersebut sering bahkan selalu mereka dapati dengan jelas di depan
mata. Kendati peringatan demi peringatan terus berkali-kali diarahkan, mereka
tetap saja tidak mau menolehnya. Mata hati mereka telah tertutup dengan
kesombongan, dosa, dan kemunafikan. Inilah maksud ayat al-Qur’an yang berbunyi,
“Dan sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda
kekuasaan Tuhan mereka, melainkan mereka selalu berpaling daripadanya.”
(QS. Yasin, 36:46)
Tidak berfungsinya akal fikiran seseorang menurut cara
yang semestinya, akan menjadikan status dan kedudukan manusia sebagai makhluk
yang berakal menurun, dari makhluk yang terpuji menjadi makhluk yang paling
rendah dan hina, sebagaimana yang disinggung dalam ayat al-Qur’an, “Demi
(buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini
yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka
bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. al-Tin, 95:1-6)
Apabila seorang manusia tidak beriman kepada Allah dan
selalu berbuat kerusakan di muka bumi, maka ia sungguh akan menjadi ‘monster’
yang paling berbahaya dibanding dengan makhluk apapun di muka bumi ini.
Kerusakan dan kejahatan yang ditimbulkan oleh orang seperti ini akan menjadi
bumerang bagi kelangsungan tatanan hidup yang sudah tertanam beradab-abad tahun
lamanya. Asumsi tersebut diperkuat oleh adanya bukti-bukti yang terjadi di masa
sekarang ataupun di masa-masa yang telah lampau. Oleh karena itu, kita tidak
merasa heran jika tindakan mereka brutal, tanpa perikemanusiaan, dan membabi
buta untuk melampiaskan nafsu duniawi sesaat, tanpa berpikir atau memikirkan
dampak yang timbul dari perilakunya. Dalam al-Qur’an, mereka dianggap seperti
hewan yang tidak menggunakan akal dan fikiran dalam mengambil tindakan, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Sebab binatang berkelakuan amoral karena tidak
dikarunia akal dan fikiran, sementara manusia yang amoral itu karena mereka
tidak menggunakan akal dan fikiran yang telah dikaruniakan kepada mereka. Dalam
hal ini, Allah swt berfirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi
neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 7:179)
Bermakrifat kepada Allah dengan akal fikiran artinya
adalah bahwa kita harus meningkatkan daya mengenal kita kepada Sang Pencipta (al-Khaliq)
dengan memikirkan ayat-ayatnya, baik yang tertulis (yaitu al-Qur’an) maupun
yang terhampar (yaitu segala ciptaan-Nya di muka bumi ini). Dengan memikirkan,
menganalisis, memperhatikan, meneliti, dan mengkaji itu semua, kita akan
memperoleh makrifat atau pengenalan kepada Allah swt yang lebih sempurna.
Kita tidak bisa memikirkan Dzat Allah karena hal itu
berada di luar jangkauan akal manusia. Apabila seseorang memikirkan Dzat Allah,
maka ia akan tersesat dan terjerembab dalam noda-noda syirik. Sebuah riwayat
yang diabadikan oleh al-Qur’an tentang keinginan Nabi Musa as untuk melihat
Tuhannya menggambarkan bahwa manusia, hatta setingkat Nabi, tidak akan
mampu menjangkau Dzat Tuhannya secara kongkrit. Lebih lengkapnya, ayat
al-Qur’an yang bercerita tentang hal ini adalah sebagai berikut, “Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada-Mu". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha
Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama
beriman". (QS. al-A’raf, 7:143).
Alangkah baiknya jika kita mencontoh sosok Nabi Ibrahim
dalam petualangannya untuk bermakrifat kepada Allah, sebagaimana dilukiskan
dalam al-Qur’an, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim
tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami
memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika
malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
"Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:
"Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian tatkala dia melihat
bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu
terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat". Kemudian tatkala
dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih
besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan
bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. al-An’am, 6:76-79). Hal ini
diperkuat oleh sebuah hadits yang berbunyi, “Renungkanlah semua makhluk
Allah dan jangan sesekali memikirkan Dzat-Nya, karena akal fikiranmu tidak akan
mampu menjangkau-Nya.”
Makrifat Menuntun Manusia Untuk Bersyukur
Setiap insan yang mempergunakan akalnya untuk bermakrifat
kepada Allah, maka kualitas imannya akan lebih sempurna dan lebih tinggi dari
iman yang dimiliki orang awam. Seorang dokter yang memahami secara detail
bagaimana fungsi dari organ-organ tubuh manusia, ia akan merasakan keagungan
dan kekuasaan Allah begitu kuat dalam dirinya. Dengan menghayati keagungan dan
kekuasaan Allah itu, maka kualitas imannya akan semakin sempurna. Demikian juga
para ilmuwan lainnya dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti ahli
biologi, geologi, astronomi, fisika, teknologi, dan sebagainya, mereka akan
menyelami makrifat kepada Allah dengan melalui bidang ilmu yang ditekuninya.
Dan tentu saja ilmu mereka, jika digunakan semestinya, akan mengantarkan
kualitas iman mereka pada tingkat yang lebih sempurna.
Orang yang tidak memiliki ilmu dan tidak mau menggunakan
akal fikirannya dengan baik, akan sedikit sekali mensyukuri nikmat dan karunia
yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Bahkan sebaliknya, mereka sering
mengeluh terhadap semua hal yang dialaminya dalam menjalani hidup ini. Ketika
hujan turun, mereka mengeluh karena beberapa pekerjaannya terbengkalai. Begitu
pula ketika ada terik panas matahari, mereka mengeluhkannya karena panasnya terasa
menyengat kulit. Bahkan ketika mereka menemukan buah-buahan yang rasanya asam,
maka mereka langsung memaki-makinya, tanpa berfikir bahwa semuanya itu adalah
hasil kreasi Allah Sang Maha Pencipta.
Orang yang beriman dan menggunakan akal fikirannya tidak
akan berbuat seperti itu. Mereka tidak banyak mengeluhkan hal-hal yang mereka
jumpai di alam ini, bahkan mereka selalu menanggapinya dengan penuh bersyukur
kepada-Nya. Di saat orang yang berilmu itu menjumpai panas, ia akan merasakan
dan mengetahui betapa banyaknya manfaat dari panas matahari itu untuk manusia.
Ia menganggap hal itu sebagai karunia Allah yang sangat berharga. Oleh karena
itu, ia memanfaatkanya sehingga dapat menghasilkan sumber energi tenaga surya,
pertanian, dan manfaat lainnya yang sangat berguna bagi manusia. Ketika ia
menjumpai hujan, hal itu ia rasakan sebagai suatu karunia Allah, karena dengan
curah hujan tersebut, kelangsungan hidup semua makhluk dapat terjamin dengan
baik. Bahkan ketika ia menemukan buah jeruk yang asam sekalipun, ia cepat-cepat
bersyukur dan mengetahui betapa banyaknya kandungan vitamin C yang ada di
dalamnya, dan hal itu sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Semua yang disebutkan di atas sekedar contoh saja, masih
banyak lagi contoh-contoh dan perumpamaan-perumpamaan lainnya di muka bumi ini
yang bisa digali dan diselami dari berbagai peristiwa yang sering dijumpai
dalam kehidupan kita sehari-hari, untuk dicarikan manfaat dari penciptaan itu
semua. Yang jelas, sungguh tidak sama antara orang yang berilmu dengan orang
yang awam, juga antara mereka yang mempergunakan akalnya dengan yang tidak
menggunakannya.
Khutbah Jumat Kedua
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ
نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتًهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ
مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ
فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
أَمَّا بَعْدُ؛
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ
عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَارْضَ عَنْ سَادَاتِنَا أَصْحَابِ رَسُوْلِكَ
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَي يَوْمِ
الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا
نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ.
اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ
يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ
فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.وَأَقِمِ الصَّلاَةِ!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar