Minggu, Maret 01, 2009

Menggerakkan Jari Telunjuk Bukan Sunnah

MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK BID’AH

Oleh: Marhadi Muhayar, Lc., M.Sh.

Mengapa menggerak-gerakkan jari telunjuk naik turun ke atas dan ke bawah ketika tasyahhud dikatakan bid’ah? Karena pekerjaan itu tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW sama sekali! Adapun yang dilakukan Rasulullah SAW adalah “hanya menggerakan jari telunjuk” bukan menggerak-gerakannya!

Tidak ada satupun imam mazhab atau ulama fikih terkemuka yang mengatakan Rasulullah SAW menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahhud dalam shalat, yang ada adalah Rasulullah SAW hanya menggerakkan jari telunjuknya dalam tasyahhud. (Lihat penjelasan ulama-ulama fikih tentang tahrîk (menggerakkan) telunjuk dalam kitab-kitab fikih terkenal mereka, seperti: Fikih Mazhab Imam Abu Hanifah semisal: Kitab al-Mabsûth, al-Jami' al-Kabir, az-Ziyâdât, Mukhtashar at-Thahawi, Fathul Qadir, Bada’i ash-Shana’, atau Fikih Mazhab Imam Malik semisal: Kitab al-Muwaththa, al-Mudawwanah al-Kubra, al-Muntaqa, adz-Dzkhîrah, Fathul Jalîl, Bidayatul Mujtahid, ar-Risalah lil Qairuwâni, atau Fikih Mazhab Imam Syafii semisal: Kitab al-Umm, ar-Risalah, al-Muhadzdzab, al-Majumu, Mughni al-Muhtaj, Hasyiatul Bijûri, atau Fikih Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal semisal al-Mughni, al-Kafi libni Qudamah, Mukhtashar al-Khiraqi, al-Hidayah lil-Kalûdzâni, Kasysyâf al-Qanna’, Ghayatul Muntaha, al-Muharrar, atau Kitab Fikih 4 Mazhab semisal: al-Fiqh ‘ala al-Mazâhib al-Arba’ah dan Bidâyatul Mujtahid. Begitu juga dengan kitab-kitab hadis-fikih semisal Subulussalam, dll.

Yang dimaksud menggerakkan jari telunjuk oleh para ulama fikih tersebut adalah menggerakkan dari kondisi menggenggam kepada kondisi lurus ke depan atau isyârah (menunjuk), yaitu menunjuk dengan telunjuknya lurus ke depan menghadap ke arah kiblat. Kata isyârah atau isyarat artinya memberi isyarat yakni menunjuk, tidak ada arti lain, apalagi ketika kalimatnya disertai dengan kata jari (ushbu’) “asyâra bi ushbu’ihi” (menunjuk dengan jarinya). Perbuatan mentauhidkan Allah dengan mengucapkan tasyahhud (syahadat) disertai isyârah/isyarat (menunjuk) itulah yang ditakuti setan, bukan menggerak-gerakkannya ke atas dan ke bawah atau ke kiri dan ke kanan yang berarti arah telunjuknya itu menyimpang dari arah kiblat!

Ini diperkuat dengan pendapat para ulama mazhab dan ulama fikih, dalil-dalil Hadis yang shahih, pengakuan para sahabat, pendekatan secara bahasa, dan pendekatan secara sanad hadis. Mari kita kaji lebih dalam berdasarkan dalil-dalil shahih dengan menggunakan akal/otak/rasio dan pikiran sehat kita untuk niat mendapatkan kebenaran karena Allah, secara objektif, lapang dada dan terbuka, bukan mengedepankan ego.

Disunnahkan bagi orang yang shalat, ketika dia duduk tasyahhud/tahiyyat meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya. Lalu menunjuk dengan jari telunjuknya ketika mengucapkan kalimat syahadat “Asyhadu allâ ilâha illallâh wa asyhadu anna muhammadar rasûlullâh”, dan tidak menggerak-gerakkannya jari telunjuknya karena perbuatan itu makruh (dibenci). Cukup dengan memberikan isyarat tauhid yaitu menunjuk dengan telunjuknya lurus ke arah kiblat, tidak dengan menggerak-gerakkannya ke atas dan ke bawah atau ke kanan dan ke kiri. Kondisi menunjuk itu terus berlanjut sampai dia mengucapkan salam untuk mengakhiri shalatnya. Seperti itulah yang telah dilakukan Rasulullah SAW dalam shalatnya. Ibnu Umar r.a. berkata:

"كان رسول الله صلي الله عليه وسلم إذا قعد في التشهد وضع يده اليسري علي ركبته اليسري، ووضع يده اليمني علي ركبته اليمني، وعقد ثلاثا وخمسين، وأشار بالسبابة" (رواه مسلم في الصحيح)[1]

“Rasulullah SAW jika duduk dalam tasyahhud meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya, lalu beliau menggenggam membentuk lima puluh tiga, lalu menunjuk dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim dalam Shahihnya).

Maksud menggenggam membentuk 53 adalah beliau menggenggam 3 jari tangan kanannya sedangkan telunjuk dan ibu jarinya membentuk bulatan menyerupai angka 5 Arab, maka menjadi 53, seperti yang biasa kita lakukan sebelum menunjuk dalam tasyahhud, lihat gambar.

Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang lain juga dijelaskan:

عن علي بن عبد الرحمن المعاوي قال: "رآني عبد الله بن عمر وأنا أعبث بالحصي في الصلاة، فلما انصرف نهاني فقال: اصنع كما كان رسول الله صلي الله عليه وسلم يصنع، فقلت: وكيف كان يصنع؟ قال: كان إذا جلس في الصلاة وضع كفه اليمني علي فخذه اليمني، وقبض أصابعه كلها، وأشار بإصبعه التي تلي الإبهام "إلي القبلة"، و وضع كفه اليسري علي فخذه اليسري." (رواه مسلم في الصحيح)

Dari Ali bin Abdurrahman al-Muawi berkata, “Abdullah bin Umar melihatku tidak menunjuk dalam shalat. Ketika aku hendak pergi beliau menahanku sambil berkata: Lakukanlah seperti apa yang telah Rasulullah lakukan (dalam tasyahhud). Lalu aku bertanya: Bagaimana Rasulullah SAW melakukannya? Ibnu Umar menjawab: Rasulullah SAW jika duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya, lalu menggenggam seluruh jarinya, lalu menunjuk dengan jari telunjuknya “ke arah kiblat”, dan beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya.” (HR. Muslim dalam Shahihnya)

Dengan adanya kata asyâra (menunjuk) dalam kedua hadis tersebut dan puluhan hadis shahih lain termasuk di bawah ini yang tidak menyinggung sama sekali perkataan menggerak-gerakkan jari telunjuk, berarti menafikan penggerak-gerekan jari dalam tasyahhud shalat. Sangat aneh jika Sahabat sampai lupa menyinggung menggerak-gerakkan tangan padahal sedang membahas tata cara tasyahhud. Yang ditakuti setan bukan menggerak-gerakkan jari telunjuk, melainkan menggerakan dari posisi menggenggam 53 ke arah kiblat yaitu menunjuk dengan satu jari. Karena itu adalah simbol tauhid mengesakan Allah SWT.

Sahabat Rasulullah SAW, Numair al-Khuza’i r.a. berkata, “Aku melihat Nabi SAW meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya sambil mengangkat jari telunjuknya

عَنْ نُمَيْرٍ الْخُزَاعِيِّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعًا ذِرَاعَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى رَافِعًا إِصْبَعَهُ السَّبَّابَةَ قَدْ حَنَاهَا شَيْئًا وَهُوَ يَدْعُوْ [2]

Dari Numair al-Khuza’i berkata, “Aku melihat Nabi SAW sedang meletakkan lengan kanannya di atas paha kanannya sambil mengangkat jari telunjuknya agak merunduk, dan beliau berdoa.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3/471), Abu Daud (1/260), an-Nasa’`i (3/39), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (1/354), Ibnu Hajar al-Asqalani mempertegas keshahihan hadis ini dalam kitabnya al-Ishabah no. 8807, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (5/273), Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (2/131), dan perawi-perawi lain yang kesemuanya adalah hadis shahih).

Malik bin Numair al-Khuza’i adalah anak seorang Sahabat Rasulullah SAW, Numair al-Khuza’i, dia seorang yang tsiqah (jujur) tidak pernah dikenal celanya dalam riwayat Hadis. Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kelompok orang-orang jujur dalam kitabnya ats-Tsiqaat (para perawi yang jujur) (5/386, 7/460), seorang yang jujur bernama ‘Isham bin Qudamah al-Jadali meriwayat hadis-hadis dari Malik bin Numair al-Khuza’i.

Hadis Shahih yang nyata-nyata dan secara tegas melarang menggerak-gerakkan tangan adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang Sahabat, Abdullah bin Zubair r.a:

عن عبد الله بن زبير رضي الله عنهما قال: أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا لاَ يُحَرِّكُهَا (رواه أبو داود 2/226 رقم: 989، النسائي 3/38، البيهقي 2/132، أبو عوانة في صحيحه 2/226، البغوي في شرح السنة بإسناد صحيح 3/178)

Dari Abdullah bin Zubair r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW selalu menunjuk dengan jarinya jika dia berdoa (yakni mengucapkan syahadat) tidak menggerakan tangannya.” (HR. Abu Daud 2/226, an-Nasa’i 3/38, al-Baihaqi 2/132, Abu Uwanah dalam kitab Shahihnya 2/226, al-Bighawi dalam kitabnya Syarhu as-Sunnah dengan sanad Shahih 3/178)

Adapun hadis yang diklaim atau diaku sebagai hadis menggerak-gerakkan tangan ke atas dan ke bawah adalah satu hadis yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujr di bawah ini:

عَنْ زَائِدَةَ بْنِ قُدَامَة عَنْ عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا قَالَ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ لَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ، فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا

Dari ‘Ashim bin Kulaib berkata, “Ayahku telah mengabarkanku bahwa, Wa`il bin Hujr telah mengabarkannya. Ayahnya (yakni Kulaib bin Syihab) berkata, “ Aku ingin sekali melihat shalat Rasulullah SAW, bagaimana cara beliau shalat? Maka aku melihat Wail berdiri (menghadap ke kiblat), kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dengan kedua telinganya. Kemudian dia meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan (dari tangan kirinya). Ketika dia hendak ruku’, dia mengangkat kedua tangannya seperti tadi.

Kulaib bin Syihab berkata, kemudian dia meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian, ketika dia mengangkat kepalanya (yakni I’tidal) dia mengangkat kedua tangannya seperti tadi. Kemudian dia sujud, dia meletakkan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian dia duduk dengan cara menghamparkan kaki kirinya (yakni duduk iftirasy), lalu dia meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya, dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya, kemudian dia menggenggam membuat satu lingkaran dari dua jarinya (yakni jari tengah dan ibu jarinya), kemudian dia mengangkat jari (telunjuk)nya. Maka (pada saat itu) aku melihat dia (dalam mengangkat jarinya) menggerakkannya (dari posisi menggenggam kepada menunjuk), dia berdo’a dengannya.

(Berkata Wail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sangat dingin)’.”

Jika pun hadis ini shahih, maksudnya adalah seperti teks hadis tersebut di atas yang redaksinya adalah ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ، فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا yang artinya: “kemudian dia mengangkat jari (telunjuk)nya. Maka (pada saat itu) aku melihat dia (dalam mengangkat jarinya) menggerakkannya (dari posisi menggenggam kepada menunjuk), dia berdo’a dengannya.” Ini bisa kita lihat dari redaksi hadis tersebut yang menggunakan kata ثُمَّ (kemudian) lalu menggunakan kata فَ (maka), mengapa perawi tidak menggunakan kata ثُمّ lagi? Padahal kalimat-kalimat sebelumnya menggunakan kata ثُمّ sebagai kata peralihan ke pekerjaan berikutnya. Ini menandakan hal itu adalah satu peristiwa atau satu keadaan, bukan pekerjaan berikutnya, yang berarti maksud menggerakkan di sini adalah menggerakkan dari posisi menggenggam kepada menunjuk, tidak lebih!

Lalu dalam hadis Wail bin Hujr ini, pada bagian akhirnya dikatakan: (Berkata Wail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sangat dingin)’.” Jika pun benar para sahabat menggerakkan tangan, ini bukan penggerakan yang disengaja, melainkan karena udara dingin, dan ini bukan kondisi normal alias pengecualian, yaitu karena menahan rasa dingin. Pengecualian atau kondisi darurat tidak bisa dijadikan dalil. Seperti humuk boleh memakan daging babi pada saat tidak ditemukan makanan lain sama sekali alias dalam kondisi darurat.

Para ulama hadis menyatakan bahwa hadis dari jalur Za’idah bin Qudamah ini yang ada kalimat “yuharrikuha (menggerakannya)” tidak shahih alias syadz (aneh), mengapa? Karena hadis yang sama juga telah diriwayatkan oleh 22 orang yang tsiqah (jujur/terpercaya), namun tidak terdapat kalimat “menggerakkannya”. Dua puluh dua rawi tersebut adalah :

1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.

2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.

3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.

4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.

5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.

6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.

7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.

8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.

9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.

10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.

11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.

12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.

13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.

14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.

15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.

16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.

17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.

18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.

19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.

20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.

21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.

22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.

Orang yang mengklaim bahwa satu perawi lebih utama dari sebelas perawi adalah orang aneh, karena dia tidak menggunakan akalnya dengan baik. Hadis-hadis yang menafikan menggerak-gerakkan tangan sangat banyak dan jelas. Apalagi tidak ada imam-imam mazhab yang melakukan itu hingga ulama mazhab Maliki sekalipun. Menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahhud tidak pernah dilakukan oleh Imam Malik, tidak juga dengan imam-imam mazhab yang lainnya. Tidak seperti apa yang diklaim oleh pengarang buku Sifat Shalat Nabi. Al-Hafiz Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya “Âridhatul Ahwadzy Syarhu at-Tirmidzi” juz 2 hal. 85 mengatakan:

“Jauhilah oleh kalian pekerjaan menggerak-gerakkan jari telunjuk dalam tasyahhud. Jangan ikuti riwayat Utaibah, sesungguhnya dia itu baliyyah (dungu). Sungguh aneh kalau ada orang yang mengatakan bahwa itu membuat setan takut. Ketahuilah, jika kalian menggerak-gerakkan tangan sekali maka setan akan mengerak-gerakkannya untuk kalian sepuluh kali. Adapun yang membuat setan takut adalah keikhlasan, kekhusyuan, dzikir kepada Allah, dan mohon perlindungan-Nya. Adapun menggerak-gerakkan tangan, tidak sama sekali.

Imam Ibnu Hajib al-Maliki dalam kitabnya Mukhtashar al-Fikhi menegaskan bahwa, tidak menggerak-gerakkan jari tangan adalah Mazhab Imam Malik yang masyhur.

Imam Nawawi dalam kitabnya al-Fatâwâ hal 54 dan kitab Syarh al-Muhadzdzab juz 3 hal 454 mengatakan bahwa menggerak-gerakkan jari tangan dalam tasyahhud adalah makruh (dibenci) karena perbuatan itu sia-sia dalam shalat dan menghilangkan kekhusyuan dalam shalat.

Adapun hadis yang berbunyi:

تَحْرِيكُ الْأُصْبُعِ فِي الصَّلَاةِ مَذْعَرَةٌ لِلشَّيْطَانِ

“Menggerakkan jari telunjuk dalam shalat pengusir setan”

Hadis ini adalah hadis Maudhu’. Ibnu Adiy meriwayatkannya dalam kitabnya al-Kâmil fi Dhu’afâ juz 6 hal 2247. Imam Baihaqi mengatakan, al-Waqidi sendirian dalam meriwayatkan hadis itu dan dia adalah orang lemah.

Sangat aneh rasanya, ketika Rasulullah SAW shalat dalam sehari semalam lima kali, belum lagi shalat sunnahnya yang puluhan kali, yang jika dihitung, berarti dalam satu minggu beliau shalat ratusan kali, dalam sebulan ribuan kali, dalam setahun jutaan kali, lalu dalam 12 tahun selama beliau hidup, beliau shalat disaksikan para Sahabat jutaan kali, yang berarti jutaan kali juga beliau Tahiyyat. Mengapa tidak ada satupun riwayat shahih dan jelas yang mengatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya menggerak-gerakkan jari tangannya ke atas dan ke bawah atau ke kanan dan ke kiri?! Afalâ tatafakkarûn? Wallahu a’lam bishowâb!



[1] HR. Muslim dalam Shahihnya , 1/408.

[2][2] HR. Ahmad (3/471), Abu Daud (1/260), an-Nasa’`i (3/39), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (1/354), Ibnu Hajar al-Asqalani mempertegas keshahihan hadis ini dalam kitabnya al-Ishabah nomor 8807, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (5/273), Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (2/131), dan perawi-perawi lain yang kesemuanya adalah hadis shahih.

Kamis, Februari 05, 2009

Khutbah Jumat (Keluarga Sakinah)

KELUARGA SAKINAH

Oleh: Marhadi Muhayar, Lc., M.Sh.


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ تَعَالَى أَيْضًا: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّا بَعْدُ؛


Jamaah shalat Jumat rahimakumullah…

Sakinah, secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang diambil dari tiga huruf Syin, kaf dan Nun Yang membentuk kata sakana yaskunu sukunan wasakiinatun yang berarti ketenangan dan diam. Ini menjadi simbol bahwa keluarga sakinah itu adalah keluarga yang didalamnya tidak pernah terjadi apa-apa, diam, tenang dan tidak pernah terdengar tanda-tanda keributan. Piring terbang tiudak pernah terdengar, kata-kata kotor, cacian dan makian tidak pernah terlontar dari mulut suami kepada isterinya, Isakan tangis isteri karena didzalimi oleh suami tidak pernah terdengar, orang tua dan mertuanya tidak pernah mendengar aduan kehidupan rumah tangga anak-anaknya. Anak-anaknyapun tidak pernah mengadu kepda orang tuanya dan mertuanya, tetanggatidakj p[ernah mendengar bantingan keras pintu atau centang prenang didalam keluarga yang sakinah.

Dalam bahasa Arab setiap kalimat yang tersusun dari huruf syin kaf dan nun itu pasti menunjukan ati ketenangan atau diam. Huruf sukun adalah huruf yang tidak kemana-mana atau selalu diam. Mulut kita dalam pelapalannya misalnya huruf ba, kalau dia fathahmulut kita agak ke atas, kalau dia kasrah berarti agak ke bawahdan begitu juga dhomah mulut agak sedikiut ke depan ( monyong ) Tetapi kalau sukun mulut kita diam saja tidak ke mana-mana ( tenang ).Maskan adalah isim makan ( tempatr )dari sakana yang artinya tempat tinggal. Maskan terdiri dari mim,sin,kaf dan nun kalimat ini diambil dari sin, kaf dan nun. Kenapa tempat tinggal dalam bahasas arab diantaranya adalah maskan ? Karena kalau orang masih dijalanan fikiran itu belum tenang sebelum sampai di rumah. Diperjalanan ia masih merasa was-was, tapi ketika sudah sampai ke rumah dia merasa tenang. Kemudian syikkin yang berarti pisau, lalu apa kaitannya pisau dengan kete4nangan ? kalau pisau digorokkan ke leher binatang ia akan tenanga karena sudah mati dan tidak bergerak ke mana-mana. Kemudian ada lagi miskiin yang berarti miskin atau tidak punya. Kenapa orang yang tidak punya itu disebut miskin ? karena dapurnya tenang tidak ada aktifita sdapur ngebul karena tidak ada yang dimasak. Jadi orang miskin dapurnya selalu tenang tidak ada aktifitas didalamnya. Oleh karena itu setiap huruf yang ada sin, kaf dan nun itu pasti menunjukan kepada ketenangan ataupun diam. Inilah indahnya dan hebatnya bahasa Arab yang mengenal istilah Musytaqqot yaitu kalimat-kalimat itu diambil dari asal katanya. Musytak adalah sumber pengambilan huruf. Bisa diartikan sebagai derivasi atau turunan kata.

Contoh lain dari mustaqqot ini adalah kata jin, jannah, majnuun dan janiin. Di dalam kata-kata tersebut terdapat huruf jim dan nun. Ternyata kata-kata ini mempunyai satu persamaan pengertian yaitu tidak nampak ataupun tertutup. Janin dalam perut ibu pasti tidka nampak, tidak terlihat didalamnya laki-laki ataupun perempuan secara kasat mata. Jannah ( Syurga ) arti asli dari jannah itu adalah kebun, Kenapa syurga itu dikatakan jannah ? Karena syurga itu berbentuk kebun yang sangat rindang sedemikian rindangnya. Tepi-tepi yang ada didepan, belakang, kanan dan kirinya, pohon-pohon yang tinggi sehingga apa yang ada didalam kebun itu tidka nampak karena tertutup oleh kerindangan pohon-pohon yang ada dipinggir-pinggirnya. Maka dari itu syurga dikatakan jannah karena apa yang ada didalamnya tidak terlihat. Jin juga tidka nampak oleh kasat mata. Majnun yang artiunya adalah orang gila. Kenapa orang gial dalam bahasa Arab dikatakan majnun ? karena otaknya tertutup, karena ketertutupan inilah akhirnya ia tidka bisa berfikir seperti orang-orang sehat.

Kembali ke pembahasan keluarga sakinah lagi, Keluarga kita bisa menjadi keluarg-keluarga sakinah dengan menempuh beberapa tahapan diantaranya :

Pertama, Keluarga itu harus ditempuh melalui pernikahan, kenapa hal ini perlu diungkapkan ? Karena di zaman yang penuh kenistaan ini orang enggan untuk menikah bahkan menggungat pernikahan, mereka berkata : untuk apa kita menikha kalau di dalamnya hanay centang prenang, lebih baik kumpul kebo, karena didalam kumpul kebo tidka ada ikatan, kalau umpama suatu saat kita sudah tidak senang, ya sudah, karena tidak ada ikatan. Gaya hidup barat pelan-pelan, sedikit demi sedikit masuk ke dalam budaya masyarakat kita. Kita lihat sekarang artis-artis nasional kita, yang namanya free sex, narkoba, Miras itu sduiah menjadi keseharian mereka, bahkan banyakj artis yang menikah setelah berbadan dua terlebih dahulu. Kita harus mengcover anak-anak kita agar terhindar dari hal-hal semacam itu.

Saya yakin dengan seyakin-yakinnya kalau ada keluarga yang tanpa ikatan mengakakan bahwa keluarga mereka bahagia,tentram dan damai ( sakinah ) itu pasti bohong ( non sen )atau hanya kebahagian semu belaka, dan pasti didalamnya terdapat begitu banyak permasalahan. Kenapa ? karena tidak adanya reasa tanggung jawab dan rasa saling memiliki antara pasangannya. Bagaimana dia mau bertanggung jawab sementara ikatan kekeluargaannya saja tidak ada. Karena itu, Islam mengajarkan kepada kita bahwa kalau kita menginginkan keluarga yang sakinah, maka yang haurs pertama kali kita lakukan adalah mengikat pasangan dengan ikatan perniukahan trerlebih dahulu. Kenapa harus ada pernikahan terlebih dahulu ? Syeikh Abdullah Nasiwulan di dalam kitabnya Tarbiyatul Islam Lil Aulad mengatakan bahwa pernikahan adalah :

  1. Fitrah Insaniyah.

Yaitu pernikahan adalah kebutuhan manusia, naluri dan naturenya manusia. Orang lapar pasti ingin makan,orang haus pasti ingin minum, begitu juga kalau laki-laki dan perempuan dewasa pasti menginginkan berhubungan dengan lawan jenis. Maka jalan untuk menyalurkannya adalah yatiu melalui jalan pernikahan. Pernikahan membedakan kita dengan binatang. Kalau binatang ingin melampiaskan nafsu, dia bebas melakukannya kapan saja dan dimanapun juga. Tapi manusia harus dengan peraturan yaitu dengan pernikahan untuk melegalkan pelampiasan hawa nafsu tersebut. Kerbau kalau ingin makan rumput dia bebas melakukannya tanpa bertanya terlebih dahulu apakah rumput ini rumput negara , rumput yayasan, ataukah rumput masyarakat, karena dia adakah binatang. Dengan begitu, kalau ada manusia yang makan harta tanpa bertanya, apakah harta ini milik rakyat, ataulkah milik negara, maka dia mentralnya sama saja dengan mentalk kerbau.

Untunglah kita menjadi umat Islam, karena ajaran Islam memahami betul tentang kebutuhan-kebutuhan manusia. Manusia butuh makan, maka Islam mengajarkan manusia bagaimana mencari nafkah yang baik dan benar, Islam mengajarkan manusia untuk bekerja keras denmi menghidupi diri dan keluarganya. Itu adalah refleksi dari ajaran agama kita yang mengajarkan kita bagaimana mencari nafkah. Manusia mempunyai libnido, manusia ingin menyalurkan hasrat libidonya, maka Islam mengaturnya dengan pernikahan. Pernikahan menghalalkan manusia untuk berhubungan intim dengan pasangannya masing-masing. Islam mengajrakan laki-laki yang sudha cukup umur untuk segera menikah karena hawatir terjerumus ke jurang kemaksiatan, Rasulullah saw bersabda :

Yaa ma’syaras syabaabi manistata’a minkumul baa’ahu falyatajawwaj

Wahai para pemuda barang siapa dintara kalian sduah mampu untuk menikah, maka menikahlah

Pemuda yang suidah mampu untuk menikah maka dia harus cepat-cepat menikah karena kalau tidka cepart menikah khawatir dia akan terperosok kedal;am jurang kemaksiatan. Cepatlah menikah jangan sampai lama-lama berpacaran, Karena kalausudahberpacaran wnaitanya yang menjadi korban, nasibnya persis seperti durian, Lihat orang kalkau mau beli durian, pasti dia pegang-pegang terlebih dahulu, dicium-cium bahkan dicobain, Syukur kalau duriannya itu dibeli tapi tidak sedikit juga durian yang telah dicobain tapi tidak jadi di beli. Ternyata nasib remaja-remaja puteri banyak yang bernasib sepertio durian, dicobain kemudian tidak jadi di beli.

Seperti inilah ajaran Islam , menganjurkan bagi yang sudah mampu untuk cepat-cepat menikah. Tapi di dalam ajaran agama-agama yang lain tokoh-tokoh Agamanya dilarang untuk menikah karena mereka beralasan bahwa itu akan mengganggu hubungan totalitas dengan tuhan. Kemudian dalam agama yang lainnya tokoh-tokoh agamanya tidak boleh menikah da ntidak boleh bergaya. Dia hanya boleh memakai pakaian tertentu dan kepalanyapun harus botak dan inipun boleh berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Tetapi Islam membolehkan umatnya bahkan tokoh-tokoh agamanya untruki menikah dan bergaya, maksudnya berpakaian dengan pakaian yang rapih, bersih dan berbau modis, itu boleh asal tidak menyalahi syariat.

Bukan hanya itu makan dagingpun tidak boleh dalam agama tertentu, karena daging menimbulkan tempramen dan syahwat seseorang menjadi tinggi, sehingga mengganggu hubungan totalitas dengan tuhan. Tapi kalau kita liyhat Ustadz-ustadz, kiyai malah mereka disuguhi dengan makanan yang enak-enak dan paling banyak karena dalam Islam itu boloeh-boleh saja asal tidak berlebihan.

  1. Masalah Ijtima’iyyah ( Maslahat kemasyarakatan )

Diantarea masalah Ijtima’iyyah itu antara lain yaitu muhofadzatul ansab untuk menjaga keturunan anak-anak kita supaya mempunyai keturunan yang jelas, dan setiap anak dinisbahkan kepada bapaknya karena sekarang ini banyak anak yang lahir tanpa mempounyai keturunan yang jelas bahkan keturunan rame-rame. Jadi proses pernikahan itu dalam rangka untuk menjagfa keturunan.

Dan kemudian tujuan dari pernikahan yang lainnya adalah agar kita terbebas dari penyakit menular diantaranya penyakit kelamin ataupun dari HIV dan AIDS. Kemarin belum lama kita ini memepringati hari AIDS sedunia dengan tujuan supaya kita tidak melaksanakan aktivitas sex di luar nikah. Sudah banyak bukti Allah mengazab manusia-manusia yang berprilaku free sex, yang melakukan aktvitas sex di luar nikah dengan penyakit yang sangat luar biasa dan belum pernah terdengar obatnya dari penyakit AIDS.

  1. Pernikahan mempunyai fungsi selektifitas.

Oleh karena itu sebaiknya dihindari, betul seorang bapak mempunyai otoritas untuk mengawinkan anaknya, tapi di zaman sekarang ini kita harus bias selektif dalam memilih calon untuk menjadi calon suami puteri kita dan terlebih dahulu harus dimusyawarahkan terlegih dahulu dengan anak kita demi menyangkut kebahagiaannya kelak. ANjuran musyawarah ini dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as. Ketika datang kepadanya yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya yaitu nabi Ismailas. Nabi Ibrahim masih meminta pendapat anaknya walaupun sudah pasti benar adanya. Begitupun dengan kita harus selalu bermusyawarah dalam emnetapkan sesuatu apalagi masalah pernikahan yang menyangkut kebahagiaan putera-puteri kita.

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الآيَاتِ وَالِّذكْرِ الْحَكِيمِ ، وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ، أَقُولُ قَوْلِي هذَا وَأَسْتَغْفِرُ الله الْعَظِيمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوهُ فَيَا فَوْزَ الْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِين، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

KeduaKhutbah Jumat

اَلْحَمْدُ ِللهِ الْمَلِكِ الْوَهَّابِ، اَلْجَبَّارِالتَّوَّابِ، اَلَّذِيْ جَعَلَ الصَّلاَتَ مِفْتَاحًا لِكُلِّ بَابٍ، فَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي مَنْ نَظَرَ إِلَي جَمَالِهِ تَعَالَي بِلاَ سِطْرٍ وَلاَ حِجَابٍ وَعَلَي جَمِيْعِ اْلآلِ وَاْلأَصْحَابِ وَكُلُّ وَارِثٍ لَهُمْ إِلَي يَوْمِ الْمَآبِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهِ... أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ الله تَعَالَى: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ). أما بعد.

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah…

Pernikahan dalam Islam itu dianjurkan seyogyanya adalah dipilih karena faktor agama. Memilih pasangan hidup itu semestinya juga harus didasarkan atas faktor agama. Sebagaimana hadits rasulullah saw

“ Wanita dinikahi karena empat perkara, yaitu karena kecantikannya, karena hartanya, karena keturunannya dan karena agamanya. Maka akan amat sangat bahagia kalau memilih isteri karena factor agamanya kalau tidak, maka tangnnmu akan berlumuran tanah( akan sengsara ) ( Muttafaq alaih ).

Sekarang yang berkembang dimasyarakat adalah pernikahan lintas agama walaupun ada yang membolehkan laki-laki muslim menikah dengan wanita non muslim ( ahli kitab ), tapi Abdullah bin Ubay pernah mengatakan : Dia tidak pernah melihat adanya perempuan yang lebih musyrik daripada perempuan yang mengatakan bahwa Tuhan itu ada tiga, Tuhan bapakl, Tuhan anak, dan roh Kudus, Artinya diantara ahli kitab itu teologinya jauh lebih musyrik daripada orang-orang musyrik. Sedangkan AL-Quran menjelaskan bahwa menikahiorang-orang musyrik itu dilarang ( tidak boleh ). Jadi, jangan sampai laki-laki muslim menikahi wanita-wanita ahlul kitab dan wanita-wanita musyrik dan apalagi wanita muslimah jangan sekali-kali dinikahkan dengna laki-laki yang msuyrik. Pernikahan lintas agama lambat laun sudha merambah masyarakat kita terlebih-lebih dikalangan selebritis kita.

Kemudian kalau kita menikah, sebaiknya kalau ada carilah yang masih gadis, karena barang second itu berbeda kualitasnya dengna barang yang masih orisinil. Dan juga didikan mental mantan suaminya terdahulu masih melekat dalam dirinya sehingga butuh waktu untuk merubahnya. Kemudian usahakan kalau mencari isteri itu harus orang asing. Artinya bukan orang bule tapi orang yang bukan masih dalam lingkungan kweluarga. Karena kalau nanti bercerai itu bukan hanya menjadi masalah suami isteri tapi juga akan menjadi masalah keluarga.

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَارْضَ عَنْ سَادَاتِنَا أَصْحَابِ رَسُوْلِكَ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَي يَوْمِ الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.وَأَقِمِ الصَّلاَةِ!

Khutbah Jumat (Hikmah Penciptaan)

Hikmah Kontroversi Penciptaan

Oleh: Marhadi Muhayar, Lc., M.Sh.


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ تَعَالَى أَيْضًا: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّا بَعْدُ؛

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah…

Al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam (kosmogoni). Mengenai metafisika penciptaan alam, al-Qur’an hanya mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu yang hendak diciptakan Allah, tercipta sekedar dengan firman-Nya: “Jadilah!” (2:117; 3:47; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68). Bertitik tolak dari sinilah, para ilmuwan maupun agamawan mencoba menjelaskan terjadinya proses penciptaan alam semesta.

Walaupun al-Qur’an hanya sedikit berbicara mengenai kosmogoni, tetapi al-Qur’an berulang-ulang kali menjelaskan mengenai alam dan fenomena alam yang dihubungkan dengan Allah, manusia, ataupun dengan keduanya. Pernyataan-pernyataan itu umumnya menggambarkan kekuasaan serta kebesaran Allah yang tak terhingga dan menyerukan manusia untuk beriman kepada-Nya, atau menggambarkan belas kasih-Nya yang tak terhingga dan menyerukan manusia agar bersyukur kepada-Nya.

Abu Raihan al-Bairuni, ilmuwan muslim yang hidup abad X dan rajin mengukur berat jenis berbagai benda, adalah orang pertama yang menyatakan, fenomena gravitasi di bumi sama dengan yang ada di langit. Dialah yang mengatakan, model alam Ptolomeus yang geosentris secara fisis tidak masuk akal. Karena langit yang begitu besar dengan bintang yang katanya menempel padanya dinyatakan berputar mengelilingi bumi sebagai pusat. Ia bahkan menyebutkan kemungkinan adanya orbit yang eleptik pada planet dalam komunikasinya dengan Ibn Sina. Ketika enam abad kemudian Jhon Kepler berhasil menemukan hubungan antara waktu edar planet-planet dengan sumbu utama elips masing-masing, maka muncullah pada abad ke-17 karya Isac Newton “Principia” yang berisi teori gravitasi. Sejak itu orang mengetahui apa kendala yang mengekang planet-planet tata surya untuk bergerak mengelilingi matahari.

Selanjutnya, konsepsi Astro-Fisika yang menyatakan, langit atau ruang alam ini tidak terbatas dan besarnya tidak terhingga. Sebab kalau ia terbatas, bintang-bintang dan galaksi yang ada di tepi akan merasakan gaya tarik gravitasi, sehingga lama kelamaan benda-benda langit itu akan mengumpul di sekitar pusat tersebut. Pada abad ke-17, Isac Newton menyatakan, alam ini kekal adanya. Adapun reaksi yang dialaminya, baik kimia maupun fisika, masanya tidak pernah hilang atau hanya akan berubah menjadi energi yang setara. Konsepsi bahwa alam ini kekal (baqa) dan kadîm (terdahulu), nyata tak mengakui adanya Sang Pencipta. Konsepsi ini didukung oleh Laviesac sekitar abad ke -18 dan diperluas oleh Einstein, sehingga menjadi hukum kekekalan massa dan energi. Dalam hal ini, Einstein masih percaya pada kebenaran konsepsi lama.

Tahun 1929 terjadi peristiwa penting yang menjadi awal pergeseran pandangan di kalangan para ahli tentang penciptaan alam, yang mengubah secara radikal konsepsi para fisikawan mengenai munculnya alam semesta. Pada tahun itu juga, Huble yang menggunakan teropong bintang terbesar di dunia melihat galaksi-galaksi di sekeliling kita, yang menurut analisis terhadap spektrum cahayanya tampak menjauhi planet kita dengan kelakuan yang sebanding dengan jaraknya dari bumi; yang terjauh bergerak paling cepat meninggalkan kita. Kejadian ini merupakan pukulan berat bagi Einstein, karena observasi Huble itu menunjukkan bahwa alam semesta ini tidak statis (kekal), melainkan merupakan alam yang dinamis seperti kata Freidman.

Melalui perhitungan mengenai perbandingan jarak dan kelajuan gerak setiap galaksi yang teramati, para fisikawan dan kosmolog menarik kesimpulan bahwa semua galaksi di jagad raya ini semula terpadu dengan galaksi kita, Bima Sakti, kita-kira 15 miliar tahun yang lalu.

Karena tidak mungkin alam ini berkumpul di suatu tempat dalam ruang alam tanpa meremas diri dengan gaya gravitasinya yang sangat kuat, sehingga volumenya mengecil menjadi titik. Maka, disimpulkan, “Dentuman Besar (big-bang)” itu terjadi ketika seluruh materi kosmos terlempar dengan kecepatan yang sangat tinggi, keluaran dan keberadaannya dalam volume yang sangat kecil. Alam semesta lahir dari sebuah singularitas dengan keadaan ekstrim.

Apabila kita membandingkan konsep fisika tentang penciptaan alam ini dengan al-Qur’an, kita dapat memeriksa apa yang dinyatakan dalam ayat 30 surah al-Anbiyâ’;

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit (ruang alam) dan bumi (materi alam) itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.”

Keterpaduan ruang dan materi seperti dinyatakan ayat ini hanya dapat dipahami jika berada di suatu titik; singularitas fisis yang merupakan volume berisi seluruh materi. Pemisahan mereka terjadi dalam satu ledakan dahsyat yang melontarkan materi ke seluruh penjuru ruang alam yang berkembang dengan sangat cepat, sehingga tercipta universum yang berekspansi.

Selanjutnya mengenai ekspansi alam semesta yang menaburkan materi paling tidak sebanyak 100 miliar galaksi, yang setiap galaksi berisi 100 miliar bintang itu, al-Qur’an menerangkannya dalam ayat 47 surat al-Dzariyat:

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

Dan langit (ruang alam) itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.”

Dari ayat di atas nyatalah bahwa yang mampu melemparkan kira-kira 10.000 miliar bintang yang masing-masing massanya sekitar massa matahari, hanyalah sesuatu yang mempunyai kekuatan yang maha dahsyat (Tuhan). Kenyataan ini menggusarkan para fisikawan yang ingkar akan adanya Sang Pencipta.

Beberapa fisikawan mencoba mengelakkan penciptaan alam ini dengan melontarkan teori-teori alam yang berosilasi, yaitu alam semesta berkembang kempis, yang meledak dan berekspansi untuk kemudian mengecil berulang-ulang tanpa awal dan tanpa akhir, namun kosmos yang berkeadaan seperti ini tidak dibenarkan secara termodinamis.

Usaha lain adalah dengan mengemukakan teori alam yang ajeg, yang mengatakan bahwa galaksi boleh terbang ke seberang sana, tetapi ruang yang ditinggalkannya diisi oleh materi lain; namun teori ini tidak berlaku setelah Wilson dan Penzias (1964) dalam observasinya ke segenap penjuru alam menemukan sisa-sisa kilatan dentuman-besar yang terjadi sekitar 15 miliar tahun lalu.

Pandangan Agamawan

Dalam memformulasikan penciptaan alam semesta ini, umat Islam terpecah menjadi dua kelompok; yaitu Teolog Asy’ariyah yang bercorak tradisional dan Teolog Mu’tazilah yang bercorak rasional. Kaum Asy’ariyah berpendapat, alam semesta ini adalah hadis (diciptakan Allah dari tiada secara langsung). Alam semesta, menurut mereka, tidak berasal dari sesuatu, hakikat, jauhar, maupun ‘aradh, tetapi diciptakan dari nihil menjadi ada (cretio ex nihilo) dengan kodrat dan iradat-Nya. Konsep ini selaras dengan prinsip mereka, la qadama illa Allah, tidak ada yang kekal selain Allah. Implikasi dari kadimnya alam, menurut mereka, membawa kepada paham politheisme dan atheisme . Politheisme karena alam semesta juga dianggap Tuhan. Dikatakan atheisme, karena alam semesta tidak diciptakan atau tidak perlu adanya Pencipta.

Sebaliknya, Teolog Mu’tazilah berpendapat bahwa alam semesta ini diciptakan Allah dari sesuatu yang telah ada yang disebut ma‘dûm (sesuatu, zat, dan hakikat). Bahkan ada yang mengatakan, alam ma‘dûm ini telah mempunyai wujud, hanya saja belum mempunyai sûrah (bentuk) seperti alam empiris. Konsep ini selaras dengan pandangan mereka bahwa tiada atau nihil tidak mungkin bisa menjadi sesuatu yang ada; yang terjadi adalah sesuatu yang telah ada berubah menjadi sesuatu yang ada dalam bentuk lain (sûrah).

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الآيَاتِ وَالِّذكْرِ الْحَكِيمِ ، وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ، أَقُولُ قَوْلِي هذَا وَأَسْتَغْفِرُ الله الْعَظِيمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوهُ فَيَا فَوْزَ الْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِين، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Jumat Kedua

اَلْحَمْدُ ِللهِ الْمَلِكِ الْوَهَّابِ، اَلْجَبَّارِالتَّوَّابِ، اَلَّذِيْ جَعَلَ الصَّلاَتَ مِفْتَاحًا لِكُلِّ بَابٍ، فَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي مَنْ نَظَرَ إِلَي جَمَالِهِ تَعَالَي بِلاَ سِطْرٍ وَلاَ حِجَابٍ وَعَلَي جَمِيْعِ اْلآلِ وَاْلأَصْحَابِ وَكُلُّ وَارِثٍ لَهُمْ إِلَي يَوْمِ الْمَآبِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهِ... أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ الله تَعَالَى: (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ). أما بعد.

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah…

Sejalan dengan filsafat emanasi Islam, dinyatakan bahwa alam semesta ini kadîm dari sisi zamannya, karena ia diciptakan Tuhan dari bahan yang sudah ada semenjak zaman azali dan tidak didahului oleh zaman. Sedangkan dari sisi zat, karena ia diciptakan Tuhan, maka alam semesta bersifat baru, sebab menurut filosof, implikasi kadîm tidak akan membawa kepada paham politheisme dan atheisme. Karena ia bukan Tuhan dan kadîmnya alam tidak sama dengan kadîmnya Tuhan, sedangkan keberadaannya diciptakan oleh Tuhan dan Tuhan adalah Pencipta alam semesta ini.

Oleh karena itu, alam semesta sebagai pertanda adanya Tuhan, maka disebut sebagai ayat (tanda kebesaran Tuhan) yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia. Salah satu pelaharan dan ajaran yang dapat diambl manusia adalah keserasian dan ketertiban perputaran alam. Hal ini mengisyaratkan bahwa tanpa adanya Sang Pencipta itu semua tidak bisa terwujud. Dalam bahasa al-Qur’an, alam disebut muslim, karena seiap sesuatu yang berada di dalamnya (kecuali manusia yang dapat menjadi muslim atau tidak menjadi muslim) menyerah kepada kehendak Allah, sampai pada batas yang telah ditentukan alam ini akan hancur. Allah Swt. berfirman:

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Q.S. ‘Âli ‘Imrân, 3: 83).

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ

Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati (tunduk dan pasrah)’.” (Q.S. Fushshilat, 41: 11).

Kedua ayat ini menjelaskan bahwa alam semesta beserta isinya (selain manusia) tunduk patuh dan berserah diri kepada Allah Swt., maka apakah pantas manusia yang notabene makhluk lemah dan kecil, bersikap menyombongkan diri dan tidak patuh kepada Allah Swt?! Wallahu a’lam bisshawab

ِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَارْضَ عَنْ سَادَاتِنَا أَصْحَابِ رَسُوْلِكَ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَي يَوْمِ الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.وَأَقِمِ الصَّلاَةِ!